Sabtu, 11 Desember 2010


Bagai Sebuah Kaca


Semilir angin malam berhembus menembus ventilasi kamarku, aku termangu duduk seorang diri di atas tempat tidur yang menjadi teman setiaku. Perlahan tapi pasti, detik jam itu berputar meninggalkan waktu lalu, yang kian membelengguku dengan kenangan. Sebuah kenangan manis masih bertengger indah dalam ingatanku yang terluar, tentang kisah persahabatan.
Duduk di bangku SMA mungkin memang satu hal yang sangat berkesan dalam hidupku. Satu hal yang tak kan pernah luput dari ingatanku.
Berkenalan dengan Raya mungkin memang suatu kebetulan dalam hidupku, yang menjadi kebanggaanku kini, aku masih bisa berada di dekatnya, walaupun antara aku dan dia terasa bak dipisahkan tembok yang tebal. Aku dan dia tak pernah lagi sedekat yang dulu, walaupun aku dan dia dalam kondisi yang sangat berdekatan. Masih terbias kesedihan dalam hatiku, sungguh begitu menyayat dalam hidupku.
Ya. Aku akui, mungkin memang aku yang menjadikan semua ini seperti ini tapi tak pernah terbayangkan olehku justru antara aku dan dia kini sangat berjauhan, antara hatiku dan hatinya kini tak lagi sedekat dulu. Aku tak bisa seleluasa dulu saat bercerita segala hal padanya. Aku tahu, sering Raya ingin aku kembali seperti  aku yang dulu padanya, aku tak pernah bisa walau sering hal ini kucoba. Ada yang terluka dan sulit untuk kututupi lukanya.
Aaaahgg….!!! aku rindu kedekatanku dengannya. Aku rindu bersenda-gurau, bahkan aku rindu celoteh cerewetnya yang sebenarnya sangat membosankan tapi membangun semangatku. Raya, kenapa sih lubang di depanmu sangat dalam kini, aku jadi takut melangkah ke arahmu. Aku benar-benar merindukan kamu yang selama ini mengisi relung hatiku. Aku merindukan sahabat yang selalu menyemangatiku dan sahabat yang selalu bisa aku semangati. Raya…!!!
Dari sewaktu duduk di kelas 3 SMA aku sudah sangat dekat dengannya, tingkahnya yang anggun, bersahaja, sopan, rapi, rajin, pintar, berwawasan luas dan berwibawa selalu membuatku ingin menjadi sosoknya yang jadi kebanggaan.
Keramahannya, keikhlasannya, kebaikan hatinya benar-benar satu hal yang ingin kupelajari darinya. Keahliannya dalam mengemukakan pendapat serta hobinya membaca buku-buku tentang kejiwaan selalu membuatnya dapat memberikan solusi yang membangun bagi para sahabatnya. Aku bangga bersahabat dengannya. Terlebih saat aku dan dia bisa sama-sama berjuang masuk ke perguruan tinggi favorit kami. Banyak hal yang aku dan Raya lakukan bersama hingga akhirnya kami benar-benar duduk di bangku perguruan tinggi ini. Aku dan Raya melewati segala hal bersama, dalam sedihku, dalam bahagiaku, dalam sedihnya dan juga dalam bahagianya. Tak luput satu halpun kami bagi berdua. Menapaki langkah kehidupan bersama-sama. Ya, itulah yang selalu aku lakukan bersama Raya dulu.
Aku memandang sebuah bingkai foto berwarna biru di atas meja belajarku, itu fotoku dan Raya saat kami berdua mengikuti acara rekreasi perpisahan kelas 3 lalu. Dua gadis berjilbab putih duduk di atas sampan di sebuah danau yang cukup luas. Senyuman manis bertengger di wajah ceria mereka berdua.
Aku terus menatap sendu pada foto itu. Kerinduan itu kembali memuncak, aku mengalihkan tatapan ke arah sebelahnya, sebuah liontin berbentuk bintang bertengger di sangkutan dinding itu, aaahhg…!! Itu liontin yang ku beli bersama tanda lulus di sebuah universitas. Butir- butir bening itu tak mampu lagi kubendung di kantung mataku, aku membiarkan butiran itu jatuh satu per satu di pipiku.
Handphone genggam yang sedari tadi kubiarkan terbaring manis di atas tempat tidurku berseringai mendendangkan nada panggilan masuk. Aku menghapus butir air mata yang sempat membasahi pipiku. Seraya menarik nafas cukup dalam, kuraih handphone itu. Satu panggilan dari Raya, sebersit senyum singgah diwajahku.
‘’Hallo, Assalamualaikum.” Sapaku mengatur suaraku yang tadi sedikit tersendat.
‘’Walaikumsalam, Na..,”  jawab orang yang di seberang.
‘’Ada apa, Ya?,” tanyaku sedikit kaget menerima panggilan darinya.
‘’Na, Aya minta maaf ya. Aya tak bisa ke sana sesuai janji Aya ke Nara semalam” tuturnya sedikit merasa bersalah.
Ada kekecewaan di hatiku. Aku menghela nafas dan menutupi kekecewaanku. ‘’Oh begitu ya? Iya, tak apalah,” jawabku.
‘’Aya minta maaf banget ya, Na. Aya kira bisa pulang lebih awal dan langsung ke rumah Nara, tapi tadi Aji meminta Aya mampir ke rumahnya sepulang kampus ini. Aya tak bisa menolak permintaannya itu, maaf ya, Na!!,” tuturnya sedikit menjelaskan.
‘’Nara ngerti kok, Ya. Aji emang segalanya buat kamu, tak apa kok! Maaf Ya, Na mesti siapin kerjaan Na nih. Udah dulu ya, Assalamualaikum.” Tuturku mengakhiri pembicaraan tanpa menunggu jawaban salam darinya.
Aku kembali menatap gambar dalam bingkai foto biru yang bertengger manis di atas meja belajarku. Kekecewaan jelas memuncak di sanubariku. Raya yang dulu kukenal kini telah berubah. Aku benar-benar kecewa dengan perubahannya itu.
Dulu, Raya benar-benar lebih mementingkan aku atau teman-temannya yang lain dibandingkan pacarnya, tapi sejak 3 semester pertama perkuliahan dimulai, Raya benar-benar menyerahkan segala waktu dan tenaganya untuk Aji, pacarnya. Aku cukup kecewa dengan perubahan sikapnya. Segala waktu luangnya hanya diperuntukkannya untuk Aji. Sejak saat itu kedekatanku pada Raya semakin berkurang. Sebenarnya ini bukan masalah yang besar, aku tahu, setiap orang pasti ingin dicintai dan mencintai. Seperti halnya Raya.
Aaaahhhg…begitu egoisnya aku jika mengekangnya. Aku mencoba mengerti tentang dunia kehidupan saat ini. Tak jarang, aku pun juga remaja, dan suatu saat nanti aku juga akan mendapatkan apa yang ditemukan Raya pada Aji. Ya, mudah-mudahan saat hal itu terjadi padaku, aku bisa membagi waktuku dengan adil.
Akhirnya hari itu aku memutuskan untuk hadir dalam pertemuan itu seorang diri tanpa Raya, aku melewati taman yang biasa aku dan Raya datangi berdua, dan tak jarang kami datang bertiga; aku, Raya dan Tari. Aku memandang pilu pada bangku taman yang kosong tanpa penghuni itu.
Seakan pilu, aku berusaha kuat melalui bangku taman itu. Bayangan kebahagiaan yang terus menghantui pikiranku membuat aku meraba-raba jalan kehidupanku…***


Mungkinkah Ini Saat Terakhir

Tililit…. Tililit…. Tililit…. Tililit…. Tililit…. Tililit….Dengan malas Rona menggerakkan tangannya. Ia berusaha meraih handphone yang terletak di atas meja tepat di sebelah tempat tidur dengan mata masih terpejam.
 “Ha..lo …”, sahut Rona dengan perlahan setelah memencet salah satu tombol handphone.
 “Ya ampun Na! Lu baru bangun ya?” tanya Rara.
“Yaaaa, ada apa sih Ra?” sahut Rona dengan mata masih mengantuk.
“Tumben banget lu kesiangan? Emang semalam lu begadang ya?” tanya Rara lagi.
“Iya nyelesain paper yang disuruh Bu Rani. Weker gue rusak, makanya telat bangun,” jelas Rona perlahan.

“Ohhhh….gitu, ya udah! Sekarang lu mandi dan cepat-cepat kemari ada kabar penting!” perintah Rara.
“Kabar apaan sih Ra?” tanya Rona dengan malas karena merasa tidak akan tertarik dengan kabar dari sahabatnya itu.
“Hari ini Dude masuk sekolah Na!” kata Rara dengan tegas.
Rona yang sedari tadi tiduran dan memejamkan mata, sontak kaget dan langsung duduk dengan membelalakkan matanya.

“Serius Ra?” tanya Rona karena masih ragu dengan Rara.
“Gue gak becanda! Makanya buruan lu kemari,” katanya mencoba meyakinkan.
“Ya udah tunggu gue,” jawab Rona dan kemudian meletakkan handphone-nya di atas meja. Dia bergegas mandi dan bersiap-siap ke sekolah.

Dalam perjalanan Rona terlihat gelisah. Pikirannya bercampur aduk antara senang dan tidak. Pak supir yang sedari tadi mengamati Rona merasa heran. Rona memang sudah sangat merindukan sang pacar Dude, tapi ia juga membencinya. Karena sudah tiga bulan terakhir ini Dude tak masuk sekolah. Dude juga tak pernah memberikan kabar. Dan saat Rona mendatangi rumah Dude, pembantunya tak mau memberikan informasi tentang Dude.
Sahabat dan teman dekat Dude sudah ditanyai Rona, tapi tak satu pun yang tahu. Sedangkan wali kelas dan guru-guru tidak mau memberitahukan apapun tentang Dude, padahal mereka sebenarnya tahu segalanya. Bulan pertama dan kedua Rona seakan tak terima dengan kehilangan Dude yang tiba-tiba. Namun di bulan ketiga ia mulai berangsur pasrah.
Mobil yang dikendarai pak sopir berhenti tepat di depan gerbang sekolah, tanpa mengucapkan apa-apa Rona bergegas keluar dari mobil dan berlari ke arah kelas. Pak sopir hanya diam sambil menggeleng-gelengkan kepala. Saat tiba di kelas Rona langsung menghampiri Rara.
“Ra! Lu serius dengan yang tadi kan?” tanya Rona meminta penjelasan Rara.
“Iya Na! tadi Dude datang kemari dan nyariin lu,” jawab Rara.
“Trus lu ngomong apa sama dia?”

“Ya gue bilang aja lu belum datang. Terus dia pergi dan dia balik ke kelasnya,” jelas Rara.
“Berarti dia masuk sekolah lagi dong?” tanya Rona lagi dijawab dengan anggukan oleh Rara.
“Jadi selama ini dia ke mana ya? Lu nggak tanya sama dia Ra?”
“Nggak, gue ngerasa canggung aja udah lama nggak ketemu dia,” jelas Rara.

Mereka berdua pun terdiam dan merasa heran. Namun Rona nggak mau terburu-buru untuk mendatangi Dude. Dia merasa bahwa Dude yang bersalah dan harus menemuinya terlebih dahulu untuk memberikan penjelasan tentang hubungan mereka.
Rona menunggu dengan gelisah, sampai bel masuk pun berbunyi dan Dude belum datang. Kemudian pada jam istirahat Rona memutuskan tidak ikut Rara ke kantin. Karena Rona berfikir Dude akan datang kembali menemuinya. Namun untuk kedua kalinya Rona salah menduga.
“Dude belum kemari Na?” tanya Rara yang sudah kambali dari kantin dengan dua buah minuman di tangannya.
“Belum Ra.,”  menggelengkan kepala dengan wajah kecewa.
“Kenapa ya?” Rara merasa heran diikuti gelengan kepala Rona yang menandakan juga heran.
 ”Tapi lu tenang aja Na, gue yakin nanti pulang sekolah dia pasti nemuin lu,” kata Rara dengan tegas.

Dan ternyata dugaan Rara benar. Dude sudah berada tepat di depan pintu kelas menunggu. Rona berdiri terpaku, bibirnya terasa beku. Sedangkan Dude juga terlihat sangat gugup, seakan tidak siap bertemu Rona.
Namun kerinduannya yang besar kepada Rona mengalahkan ketidaksiapannya. Rara tidak ingin mengganggu percakapan sahabatnya itu, ia tahu banyak hal yang pasti akan mereka bicarakan. Sehingga Rara memutuskan pulang duluan.
“Hai Na,” sapa Dude dengan lembut.
“Hai…,” jawab Rona singkat.
“Apa kabar?” tanya Dude.
“Baik, kamu?” Rona menjawab pelan.
“Lumayan,” jawab Dude
“Aku antar kamu pulang ya? Sekalian ada yang mau aku omongin”, sambung Dude.
Rona mengangguk. Mereka pun pergi meninggalkan sekolah dengan mengendarai motor yang dibawa Dude. Selama di jalan mereka hanya terdiam, tidak seperti suasana dulu yang begitu dihiasi dengan canda. Dude membawa Rona ke sebuah taman di mana dulu mereka sering menghabiskan waktu berdua. Setelah turun dari motor mereka berdua duduk di kursi yang ada di tengah taman.

“Aku mau minta maaf sama kamu Na, karena selama ini aku nggak ngasih kabar ke kamu,” Dude berusaha memulai pembicaraan.
“Kamu sebenarnya ke mana sih? Kamu tahu nggak, aku udah nyariin kamu ke mana-mana,” Rona merasa tidak tahan lagi menyembunyikan perasaannya.
“A….ku, sakit Na!” jawab Dude dengan sangat lambat.
“Sakit?” Rona merasa jawaban Dude bukanlah hal yang aneh tetapi dia justru heran mengapa hal itu harus disembunyikan darinya.

“Tapi kenapa kamu nggak ngasih tau aku, aku kan pacar kamu jadi aku bisa ngerawat kamu.”
“Aku tahu Na, tapi ini nggak segampang itu.”

“Maksud kamu?” Rona semakin terlihat bingung dengan perkataan Dude yang nggak jelas. Dude terdiam, mukanya terlihat ragu untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Rona.
“De? Kenapa kamu diam? Maksud kamu apa?” Rona mengguncang badan Dude, memaksa Dude menjelaskan semuanya. Rona merasa sudah cukup untuk bingung selama tiga bulan ini. Sehingga dia tidak ingin menunda lagi mengetahui apa yang terjadi.

“Aku…aku…aku menderita kanker stadium akhir Na,” jelas Dude dengan perlahan.
“Apa?” Rona terlihat sangat terkejut, ia benar-benar nggak menyangka penjelasan Dude akan seserius itu.

“Selama tiga bulan ini aku menghilang, karena mama membawa aku ke Singapura untuk menjalani perawatan. Di sana aku terapi dan aku sempat kritis Na,” Dude melanjutkan penjelasannya.
 ”Sekarang aku hanya punya waktu seminggu, setelah itu aku harus balik ke Singapura untuk perawatan selanjutnya.”

“Ya ampun Dude….kenapa kamu nggak ngasih tahu aku?” keluh Rona dan air mata terlihat jatuh di pipinya yang halus.
“Aku takut setelah mendengar semuanya kamu ninggalin aku. Aku kangen banget sama kamu dan aku takut kehilangan kamu Na.” Dude menutup mukanya dengan tangan. Ia menangis layaknya seorang anak kecil.
Melihat kesedihan pacarnya itu hati Rona hancur. Rona meraih tangan Dude dan memegangnya erat-erat. “Aku cinta sama kamu, dan aku cinta kamu apa adanya, aku nggak bakalan ninggalin kamu,” ujar Rona sambil menatap Dude.
“Aku bakal nunggu kamu, sampai kamu sembuh.”
“Tapi penyakitku semakin parah Na, aku nggak tahu kapan bisa balik lagi. Entah itu tiga minggu, tiga bulan, atau mungkin tiga tahun lagi,” tambah Dude dengan air mata yang terus mengalir.
“Aku nggak peduli, aku bakal nungguin kamu. Asal kamu janji berusaha untuk sembuh demi aku,” tambah Rona.

Dude terharu dengan perkataan Rona. Ia merasa semangat hidupnya kembali lagi. “Aku janji sama kamu, aku akan berusaha untuk sembuh.”
Dude langsung memeluk Rona dengan erat. Sudah lama pelukan hangat itu tidak mereka rasakan. Mereka larut dalam kebersamaan itu. Sejenak mereka melupakan semua kesedihan yang ada. Walaupun sebenarnya Rona tahu semua itu tidak akan mudah nantinya. Tapi ia hanya ingin memberikan semangat penuh untuk Dude, karena hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini.
Seminggu sebelum keberangkatan Dude ke Singapura mereka benar-benar menghabiskan waktu bersama. Rona hanya ingin memberikan kenangan yang terindah untuk Dude. Kenangan yang mungkin tidak akan terulang lagi. Kenangan yang juga mungkin terakhir Dude rasakan. Mereka berdua benar-benar sadar akan hal itu. Tapi jauh di dalam lubuk hati Rona, ia berharap ini hanya sepenggal kenangan yang nantinya menjadi memori saat mereka menghadapi masa tua bersama.

Linda Evans Tresya adalah mahasiswa Jurusan Matematika
FMIPA Rab University Pekanbaru


Sabtu, 04 Desember 2010

persahabatan yang berakhir cinta

              persahabatan yang berakhir cinta                                                                                                Ketika duduk di bangku SMP aku kenal dengan seseorang namanya Ety, ya memang dia adalah sahabatku, sahabat yang selalu ada ketika aku sedang membutuhkannya....ceritanya aku bisa kenal dengannya ketika pertama masuk sekolah dan saat itu masih dalam suasana MOS mulanya aku disuruh kenalan oleh kakak kelasku,memang sih mulanya aku malu tapi setelah kenal aku jadi nggak malu lagi bahkan aku sering cerita tentang masalahku padanya, ya boleh diblang curhat sich.ketika kami sudah kelas VIII SMP aku mulai tau sifat sifat ety yang sesungguhnya hingga latarbelakangnya,singkatnya aku nggak ingin lagi berpisah dengannya ya karna kami sudah merasa saling cocok, ya walaupun belum ada perasaan suka padanya.
          Setelah kami naik kekelas IX kami duduk sekelas mejaku dan meja ety bersebelahan,ya kadang kadang saat nggak ada guru aku sering ngobrol ngobrol kecil dengannya baik tentang pelajaran ataupun hal lain memang sich ety orangnya enak di ajak ngbrol, ya mungkin karena ia pandai bergurau,.,.,..,.,pada suatu hari ketika aku sedih ety selalu menghiburku dengan leluconnya,memang leluconnya selalu bisa membuat aku lupa akan kesedihanku, ketika sudah semester genap di sekolahku diadakan les kusus untuk mempersiapkan menghadapi ujian nasional,.,.,.,.,.memang dasarnya ety anak yang pandai makanya aku sering bertanya padanya kalau kalau aku tidak bisa mengerjakan soal latihan yang diberikan oleh bapak atau ibu guru di sekolah dan ety pun sering memberi solusi dan cara cara penyelesaian soal tersebut
          Singkatnya setelah selesai ujian nasional aku merasa sedih karena mungkin saja aku nggak akan bisa bersama sama lagi dengan ety   karena ety mungkin akan lebih memilih untuk melanjutkan ke SMA sedangkan aku ingin melanjutkan pendidikanku ke SMK  memang aku suka pelajaran fisika khususnya mengenai listrik sedangkan ety lebih suka pelajaran IPA dan memang ety pun mempunyai cita cita untuk menjadi dokter.
          Memang benar ketika tahun pelajaran baru mulai dibuka, sekolah sekolah SMA & SMK mulai menerima siswa baru, aku memilih mendaftar ke SMKN 1 Siantan sedangkan ety mendaftar ke SMAN 7 pontianak kamipun berpisah untuk menempuh pendidikan masing masing,di SMKN 1 siantan aku mendaftar ke jurusan listrik sedangkan ety harus menunggu kelas XI baru ambil jurusan.ketika sekolah sudah berjalan 1 semester aku merasa rindu pada ety nggak tau ngapa perasaan itu datang padahal aku hanya menganggap ety hanya sebatas sahabat saja nggak lebih.
          Kesokan harinya aku hubungi nomer handpone yang di berikan ety ketika acara perpisahan di sekolah,, tuuuuut tuuuuut suara dalam handponeku bertanda telah terhubung pada nomer tersebut  assalamualaikum suara dalam telfon, wa’laikumsalam jawabku, maaf ini siapa ya kata suara dalam telfon,, apakah ini benar ety tanyaku,, iya benar ini ety kalau kamu sendiri siapaya tanya ety dalam telfon, aku bayu et jawabku, o...kamu bay jawab ety keras,,, iya aku bayu kataku lagi,, eh bay apa kabar ni tanya ety padaku, alhamdulilah baik et kalau kamu sendiri gemana et aku balik bertanya,,ya alhamdulilah baik eh iya tumben bay nelfon.,.,ya nggak apa apa kan emang nggak boleh ya et.,.,.,.,ya boleh lach kan kamu sahabat aku jawab ety,, et aku kangen ni sama kamu kataku bercanda, ...ah kamu ni bay bisa aja....iya sich aku juga kangen sama kamu kapan ya kita bisa bersama sama lagi kata ety,,, ya kalau kamu udah kembali ke siantan lagi kataku singkat,, iya sich bay tapi kan masih lama, kita kan baru mulai masuk semester genap berarti masih 2 tahun lagi aku baru bisa pulang ke siantan kata ety ,,,,,eh udah dulu ya et kataku  assalamu’laikum .....? walaikum salam jawab ety sembari menutuup telfonnya
          Seminggu kemudian aku menelfon ety.  assalamu’laikum .......? wa’alaikumsalam jawab ety di telfon., et lagi ngapa ni tanyaku..? nggak lagi ngpa ngapa kok bay kata ety di telfon,,. eh et aku mau ngomong sesuatu ma kamu kataku setengah bercanda,.,. emang mau ngomong apa bay tanya ety penasaran.,, gini et aku tu sebenarnya suka dan cinta sama kamu et kataku dengan nada bercanda,,, ety terdiam tak menanggapi omonganku,, ngapa diem et tanyaku lagi,, enggak ngapa ngapa jawab ety singkat,. nggak usah di jawab et aku juga Cuma bercanda kok nggak ada maksud apa apa,,,, ya nggak gitu dong bay kata ety.... lho emang ngapa et tanyaku lagi..,. gini bay sebenarnya aku tu udah punya perasaan suka sama kamu sejak kita masih kelas IX SMP dulu kata ety padaku,., sama sih et sebenarnya akupun sudah ada rasa cinta sama kamu tapi aku nggak berani untuk mengungkapkan itu, aku takut kamu tersinggung karna aku nggak ngelihat kamu memiliki rasa suka ma aku yang aku lihat kamu hanya anggap aku sebagai seorang sahabat saja kata bayu menjelaskan
          Gini bay aku nggak berani nunjukin rasa cintaku sama kamu karena aku takut kamu hanya mengaggapku hanya sebagai seorag sahabat saja dan aku nggak mau aku kecewa karena jawabanmu, makanya perasaan ini aku pendam sendiri hingga saat ini aku baru berani mengungkapkannya padamu dan ternyata aku baru tau kalau sudah sejak dulu kamu punya rasa cinta dan sayang untukku kata ety pada bayu. aku pun nggak mau kalah saing, ku ungkapkan semua apa yang ku rasakan saat itu, dengan yakin aku berkata pada ety,,, et boleh enggak aku jadi teman sepesial untukmu!!!!! Boleh kok bay  jawab ety
          kini aku telah kelas 3 SMA dan hubungan yang ku bangun dengan ety pada semester genap waktu kami masih kelas satu dulu masih baik baik saja, hinnga saat ini. aku semakin sibuk mempersiapkan diri untuk ujian nasional tapi dalam hati aku merasa senang karena sebantar lagi aku dapat bertemu dengan ety yang telah lama berpisah dan aku punya rasa rindu yang sangat besar untuknya hingga aku tak sabar untuk cepat cepat bertemu dengan ety.ya hingga di sekolah pun aku terlihat murung karena aku terbayang bayang wajah ety dan aku pun sedikit kehilangan konsentrasi dalam mengikuti pelajaran hingga pada saat pelajaran Bahasa Indonesia aku di tegur oleh bu lidia.,,,,Bayu kamu ngapa kok sepertinya nggak pernah mendengarkan apa yang ibu jelaskan,kamu tahu kan kalau minggu depan tepatnya tanggal 22 April sudah mulai dilaksanakan ujian nasional kata bu lidia padaku,iya bu saya tahu itu bu,, kalau begitu maafkan saya ya bu, kataku pada bu lidia..,ya sudah, tapi lain kali jangan di ulangi lagi ya kata bu lidia lagi,iya bu jawabku singkat.
          Ketika bel istirahat berbunyi para siswa berhamburan keluar kelas aku pun ikut keluar pula tapi aku bukannya ngumpul-ngumpul seperti anak-anak yang lain aku memilih untuk duduk menyendiri di taman,,,tiba-tiba dwi datang eh bayu kok murung gitu sich tanya dwi padaku,,,,enggak kok jawabku,,nggak usah bohong bay kelihatan kok dari raut wajah mu,lagi mikirin apa sich tanya dwi lagi,,,enngak aku lagi nggak mikirin apa-apa jawabku;;;; udah aku tebak deh kalo kamu nggak mau ngasi tau e..... lagi mikirin ety ya tebak dwi,,,e......gimana ya seperti itu lah kira-kira,,,,,,,cie-cie yang lagi mikirin sang kekasih yang sebentar lagi akan pulang ledek dwi padaku, aku terdiam karna malu......ngapa kok diam aja bay,  eh tapi tenang aja bay kalau memang jodoh nggak akan kemana kok, oh iya bay kamu sama ety tu seperti pepatah jawa yang itu tu witing tresno jalaran soko kulino ya nggak,, soalnya kamu sama ety tu aku lihat-lihat dulunya sahabat eh nggak taunya sekarang jadi sahabat spesial kalau Bahasa indonesianya persahabatan yang berakhir cinta ledek dwi padaku.
..................................................................................................................................................................................


Karya           : Indra Subekti,ST
Email           : praboe_listric@mail.com
No telp/Hp : 085750261358/085750123544

Di dukung oleh : torabika moka,Indomie,Danone.
Motto                 : Jalan hidup tidak selalu mulus seperti yang kita inginkan jadi                                  teruslah berdo’a dan berusaha karna itu yang dapat merubah                        jalan hidup kita,insyaallah.

Pembina             : Bpk.Isma’il,SPd
Korektor             : Dede Rachmat,SPd,Msi

rindupucino


RINDUPUCCINO
by Zara Zettira ZR. & Effendy Wongso
Bab I
Jangan Pasung Cintaku
http://www.cafenovel.com/banner/imajinasi_01.jpg
Prolog
Mungkin orang akan berpikir bahwa aku, Syandarini Aprilia Joshepine Munaf, adalah gadis teraneh yang pernah ada. Bagaimana tidak, seorang gadis yang hanya menambatkan biduk cintanya hanya pada satu dermaga hati saja, meski banyak dermaga yang dihamparkan di hadapannya dengan pantai yang lebih indah sekalipun.
Sama ketika aku begitu mencintai secangkir Cappuccino dan menolak banyak kopi lain yang ditawarkan kepadaku - Espresso, Coffee Junket, Coffe Mocha, Iced Vanilla Latte Espresso, Coffee Frappuccino, Tiramisu Latte, Cafe Macchiato, Almond Cafe Au Lait, dan masih banyak jenis kopi lainnya.
Sesungguhnya, bukan karena aku tidak kepingin. Bukan. Tapi bagiku, minum kopi bukan semata untuk memenuhi selera lidah. Namun lebih pada citarasa yang telah melekat pada lidah.
Dan sejak mula, aku telah menentukan pilihanku pada Cappuccino. Aku jatuh cinta padanya. Dan aku tidak mungkin berpaling pada kopi-kopi lainnya.
 
Rindupuccino
- sebuah falsafah tentang cinta sejati

***
Syanda tercenung sesaat di muka kulkas memilih minuman yang hendak disajikannya untuk Aditya. Kalau untuk dia sendiri sih, gampang. Cappuccino.
"Belum pulang juga anak itu?!" tegur Mama.
Syanda hanya menggeleng. Dia tahu, di rumah ini tidak seorang pun menyukai Aditya. Dan yang paling sering menunjukkan rasa tidak senang itu adalah Mama.
"Sudah jam berapa ini...."
"Ini kan malam Minggu, Ma," kilah Syanda sambil mencomot sebotol Coca-Cola jumbo dari kulkas.
"Malam Minggu sih, malam Minggu. Zaman Mama masih muda dulu juga ada malam Minggu. Tapi tidak sampai selarut seperti ini hura-hura sama pacarnya."
"Zaman Mama kan, dua puluh tahun yang lalu. Kuno. Ya lain, dong," ujar Syanda berkelakar.
Mama mencibir. "Botol yang keberapa itu?" tanyanya nyinyir, melirik dengan rupa tidak senang.
"Kenapa sih, Ma? Minuman di kulkas itu kan, memang disediakan untuk tamu!"
"Anak itu suka minum, ya?"
Syanda membanting tubuhnya dengan kesal di atas sofa.
"Kata teman-teman arisan Mama, temanmu Si Aditya itu tukang minum. Tukang begadang. Tukang kebut-kebutan."
"Tukang minum apa dulu. Ya, kalau minumnya softdrink sampai segentong juga kan tidak apa-apa, Ma. Namanya juga anak muda, begadang dan kebut-kebutan itu biasa. Kalau tidak dilakukan selagi muda, kapan lagi dong, Ma? Apa mesti kalau sudah jadi kakek-kakek?" bela Syanda seraya beranjak berdiri. Dia baru ingat kalau Aditya masih menunggu di luar.
"Huh, kamu ini! Dibelaaa terus Si Aditya. Pemuda itu tidak punya masa depan. Mana boleh kamu menggantungkan diri pada orang yang tidak punya masa depan? Mau makan apa kamu nanti? Mau makan batu, apa?!" tukas Mama sengit.
Syanda hanya menghela napas lantas berlalu meninggalkan Mama. Mama memang cerewet. Syanda sadar, siapa pun akan menilai Aditya sebagai anak berandalan. Sebab cowok itu kelewat apatis. Cuek-bebek. Tukang balap. Doyan begadang. Tapi bagi Syanda, hal itu bukan merupakan citra buruk selama semua itu dilakukan sebagai trend anak muda belaka. Toh, selama ini dia tidak pernah melakukan hal-hal yang negatif. Malah, perhatian dan kasih sayangnya tidak pernah berkurang secuil pun kepadanya.
Ya, mungkin Mama benar. Aditya tidak punya masa depan yang menjanjikan. Tapi, apa peduliku? pikir Syanda. Hari ini memang mereka pacaran. Tapi esok? Hari esok pasti menjanjikan cerita yang berbeda dengan hari ini. Dan Syanda merasa hari-hari yang akan dilaluinya masih panjang.
"Lama banget. Kukira kamu ngambil Coca-Cola-nya sampai ke pabriknya," goda Aditya, menyambut gadisnya yang keluar dengan sebotol minuman ringan.
Syanda tersenyum.
"Nih, minum sampai mabuk!" Diserahkannya botol Coca-Cola itu ke tangan Aditya.
"Mamamu marah lagi, ya?" tanya Aditya.
"Kok tahu? Nguping, ya?"
"Tidak usah nguping juga kedengaran dari sini, Syan. Suara Mamamu itu bisa sampai ke bulan kalau lagi ngedumel."
Syanda terkikik. Dicubitnya lengan Aditya dengan gemas. Selalu saja ada bahan untuk memancing tawanya.
"Jangan terpengaruh Mamamu ya, Syan? Aku cinta banget sama kamu!" ujar Aditya, mendadak jadi serius.
Syanda tercenung. Ditatapnya mata lugu di hadapannya dengan hati berdentam. Cinta? Cintakah aku kepada Aditya? Terlalu pagi rasanya mengucapkan kata-kata itu. Sampai detik ini, yang dia tahu, dia hanya merasa senang berada di dekat Aditya. Itu saja.
"Aku juga sayang kamu, Dit!" ujar Syanda akhirnya setelah berhasil meredakan gemuruh di hatinya.
Aditya menggenggam tangannya.
"Walaupun aku tidak naik sedan seperti Edo?" tukasnya.
"Hei, hei! Memangnya aku cewek matre apa?" Syanda melototkan matanya. "Aku tuh, suka dibonceng sama motor trailmu itu asal kamu tidak ngebut saja."
"Tapi, aku juga tidak punya banyak duit buat neraktir kamu."
"Ya amplop! Kok, kamu mendadak jadi Mama kedua, sih?"
"Aku takut perasaanmu kepadaku akan luntur karena terpengaruh Mamamu...."
"Dih, memangnya baju apa pakai luntur-luntur segala," Syanda bergurau. "Eh Dit, maksud Mama kan baik juga sebetulnya," ujar Syanda lagi, mencoba berpikir dewasa.
"Baik?!" Aditya mencibir. "Berusaha memisahkan kita, itu kamu katakan baik?!"
"Mama tidak sepicik itu. Mama hanya tidak ingin melihat aku bergaul dengan cowok urakan. Nah, kamu harus introspeksi, dong! Perbaiki sikap dan tingkah kamu. Mulai sekarang jangan suka ngebut. Jangan suka merokok. Jangan suka begadang. Itu saja. Begitu lho, maksud Mama."
Aditya menghela napas. Sementara Syanda hanya memilin-milin tepian roknya sebagai pengusir keterdiaman mereka. Enam bulan sejak perkenalan mereka di orientasi kampus sudah mampu menautkan dua kutub hati yang berbeda. Aditya dengan kebengalannya akibat broken home, dan Syanda yang tumbuh berkembang dalam didikan Katolik yang saleh.
"Aku pulang dulu ya, Syan?" pamit Aditya setelah meneguk minumannya sampai tandas. "Sudah larut malam."
Syanda mengangguk.
"Pamitkan aku pada Mamamu, ya?"
"Langsung pulang ya, Dit?" pesan Syanda mewanti-wanti.
"Oke. Aku mampir sebentar ke Menteng, tapi. Kalau tidak, nanti aku dibilangin sombong lagi. Mentang-mentang sudah punya pacar sehingga melupakan teman lama," jawab Aditya sambil menaiki motornya dan memasang helm. "Eh... ada yang kelupaan."
Aditya turun dari motornya dan membuka helm. Dihampirinya Syanda yang anggun berdiri dengan denimnya. Cup. Sebuah kecupan singgah di dahi Syanda.
"Met bobo, ya? Have a nice dream, " bisiknya lembut.
"Jangan kebut-kebutan malam ini lagi, ya?"
Aditya mengedipkan matanya. Sesaat kemudian motor pun menderu dan meninggalkan Syanda dengan lambaiannya.
Di dalam kamarnya, di atas tempat tidurnya, Syanda semalam-malaman tidak dapat memejamkan matanya lagi. Itulah kecupan pertama yang dirasakannya dari seorang cowok. Kecupan dari Aditya. Cintanya yang pertama.

***
Syanda menguap lebar sementara HP-nya masih menempel di telinganya. Juga suara Sonya yang seperti cucakrawa itu membujuknya supaya kuliah hari ini.
"Cuma Kewiraan kok, Syan. Masuk sajalah," bujuk Sonya di seberang sana.
"Justru karena cuma Kewiraan saja aku jadi malas."
"Ya ampun... kujemput, deh!"
"Bukan soal jemput menjemput...."
"Apa perlu aku sewa motor trail untuk menjemputmu?"
"Hei, ngeledek kamu, ya?"
Didengarnya suara Sonya terkekeh.
"Habis, susah amat sih bikin kamu insyaf buat kuliah."
"Aku lagi tidak enak badan nih, Son. Asli, tidak tahu kenapa pikiranku hari ini tidak karuan." Syanda memijit pelipisnya. Bukan, bukan kepalanya yang pening. Tapi, dia merasakan sesuatu yang janggal pagi ini.
"Kalian bertengkar tadi malam?"
"Tidak."
"Atau, Mamamu yang cicit-cuwit itu lagi ngedumel soal Aditya?"
"Termasuk. Tapi, ah tauklah. Aku titip catatan saja, ya? Mau, kan?" bujuk Syanda. "Aku tahu kamu teman yang terbaik sedunia."
"Dih, kalau ada maunya...." Sonya terkekeh. "Boleh saja, Syan. Tapi...."
"Tapi apa?"
"Asal kamu tahu saja. Teman yang baik perlu disuap agar lebih baik lagi. Sepotong burger dan segelas es krim di McDonalds bolehlah. Hehehe
."
"Ember." Syanda turut terkekeh. "Cingcai-lah."
"Oke. Hati-hati di rumah ya, Non? Nanti sore aku ke rumahmu. Salam buat tukang balapmu itu."
Bip.
Telepon diputus. Syanda menggeliat. Kalau bukan karena dering telepon Sonya, tentu dia masih bermalas-malasan di tempat tidur. Dan, masih bermimpi tentang Aditya!
Hei... apa mimpinya tadi malam?! Rasanya bukan mimpi yang indah. Buktinya, dia bangun dengan badan yang basah oleh keringat dan rambut acak-acakan.
Mimpi buruk, keluhnya dalam hati. Semoga saja cuma mimpi. Dan semoga saja perasaan tidak enak yang bermain dalam hatinya saat ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan mimpinya tadi malam.
Syanda beranjak ke dapur. Dibukanya tutup wadah kopi dan dituangkannya tiga sendok kopi instan pada cangkirnya.
Kring-kring-kring.
Telepon berdering lagi. Namun kali ini telepon rumah. Tapi beberapa saat kemudian terhenti. Tentu sudah diangkat oleh Santi, adiknya. Perlahan Syanda menuang air panas dari dispenser setelah menabur krimer dan mengaduk-aduknya.
"Syan... telepon untukmu," ujar Santi di muka dapur. Wajahnya kelihatan agak pucat.
"Dari siapa?"
"Suara perempuan. Tapi sudah kututup."
"Lho, bagaimana sih kamu ini?" seru Syanda, tidak jadi meneguk cappuccino yang sudah berada di pelepah bibirnya.
"Ka-katanya... Aditya berada di panti rehabilitasi 'Nusa Bangsa'!" jawab Santi terbata-bata.
Syanda tercekat. Panti rehabilitasi 'Nusa Bangsa'?! Siapa pun tentu tahu tempat seperti apa itu. Tapi kalau Aditya masuk ke panti itu.... Ah, salah apa Aditya?! Panti itu kan, tempat untuk merawat mereka yang kecanduan dan terlibat pemakaian obat-obat terlarang-narkoba?!
"Pe-perempuan itu tidak bi-bilang apa-apa lagi, San?!" tanyanya nyaris tanpa ekspresi.
"Tidak. Katanya cuma menyampaikan permintaan Aditya untuk memberitahumu," jawab Santi sambil duduk di hadapan Syanda. "Sebetulnya Aditya itu nyabu atau tidak, sih?"
Syanda menggeleng lemah.
"Kamu yakin dia bukan junkies?" tanya Santi lagi kurang yakin.
"Aku tidak tahu!" Syanda bangkit berdiri. Memijat keningnya kemudian. Dia benar-benar shock.
Santi menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aditya... ah, pasti polisi-polisi itu salah menangkap orang. Pasti Aditya hanya ikut terjaring operasi penertiban narkoba dan ekstasi. Mungkin beberapa temannya memakai narkoba. Tapi Aditya? Syanda membatin galau. Dia kenal betul siapa Aditya Putra Wicaksana. Tukang balap yang setiap Minggu tidak pernah absen ke gereja. Tapi kalau teman-temannya junkies, apakah tidak mungkin Aditya juga ikut-ikutan walau cuma sedikit?
"Ti-tidak mungkin! Tidak mungkin!" desis Syanda berulang-ulang. Matanya mulai membasah. Bibirnya bergetar menahan tangis.
"Tapi, Aditya kan perokok?" bantah Santi.
"Aku harus ketemu Aditya!" Syanda meninggalkan Santi yang masih menatap kakaknya dengan pandangan heran.
Siapa pun pasti heran. Gadis semanis dan sepandai Syanda mau menggantungkan hatinya pada cowok bengal yang tidak ketahuan ke mana tujuan hidupnya. Tapi, siapa yang tahu kalau di balik semua sikap buruk Aditya ternyata ada sebongkah emas murni. Dan Syanda-lah yang tahu di mana emas itu tersembunyi.
Cuma Syanda yang tahu.

***
"Waktu Nona cuma tiga puluh menit," pesan satpam yang mengantar Syanda ke ruang tamu panti rehabilitasi 'Nusa Bangsa'. Ternyata panti rehabilitasi ini juga dilengkapi dengan beberapa aparat keamanan. Syanda agak bergidik tatkala melihat beberapa penghuni yang juga sedang menerima tamu. Badan mereka kurus kering dan tatapan mereka hampa. Ah, Aditya-nya bukan orang jenis seperti itu.
Dan Syanda semakin yakin kalau polisi salah menjaring orang. Mata Aditya selalu berbinar dan bersemangat manakala menyanyikan lagu-lagu rohani di gereja. Ah, mana bisa dia disamakan dengan para junkies itu?!
"Kamu datang juga," suara berat Aditya membuyarkan lamunan Syanda.
"Ka-kamu... ke-kenapa?!"
Aditya menarik kursi di hadapannya. Menatap lurus sepasang mata indah milik gadis yang belakangan ini diakrabinya melebihi apa pun juga.
"Kamu pikir aku sama dengan mereka...."
"Tidak. Aku yakin kamu tidak bersalah...."
Aditya mengerjap-erjapkan matanya. Kepalanya terkulai lemas. "Malam itu, Omar dan Maxi ternyata bikin pesta gila-gilaan di rumahnya, di tempat kami biasa nongkrong ramai-ramai. Aku ingat pesanmu untuk segera pulang, Syan. Tapi terlambat. Polisi ternyata sudah mengepung kami. Semua terjaring. Malah, Maxi dan Omar ditahan di polsek Menteng," ceritanya dengan suara serak.
"Tapi kamu ti-tidak...."
"Demi Tuhan, Syan. Demi Tuhan aku tidak...."
"Aku percaya...."
"Terima kasih. Hanya kamu yang mau percaya aku."
Syanda memaksakan bibirnya tersenyum. "Berapa lama kamu di sini?"
"Entahlah, Syan. Mungkin sebulan. Atau, mungkin pula bisa setahun...."
"Se-setahun?!" Syanda terbelalak.
"Kamu malu aku masuk panti rehabilitasi?"
Syanda menggeleng. "Aku tidak peduli. Aku hanya takut membayangkan hari-hari yang mesti kulalui tanpa kamu."
Aditya mengeraskan rahangnya. Berusaha menahan airmata yang hendak menyeruak. Laki-laki pantang mengeluarkan airmata. Dia harus menunjukkan ketabahannya di hadapan Syanda. Bukannya malah menambah rasa pedih di hati gadis yang sangat disayanginya itu.
"Memang lama. Tapi...."
"Ak-aku akan tabah, Dit. Aku akan menunggu...."
"Ja-jangan...."
Syanda tersedu. "Ak-aku akan menunggumu sampai kapan pun juga!"
Aditya merengkuh pundak gadisnya. Membiarkannya menangis di bahunya. "Terima kasih untuk ketulusanmu."
Waktu berlalu. Tiga puluh menit berjalan tanpa terasa. Mereka harus berpisah tepat ketika bel tanda besuk berakhir berdenting memekakkan.
"Pulanglah...."
"Dit...!" Syanda kembali memeluk Aditya setelah sesaat tadi siap melangkah keluar. "Jangan lupa berdoa, ya?"
"Pasti." Aditya mengangguk lalu melambai setelah Syanda berdiri di bawah bingkai pintu keluar ruang tamu. Ditatapnya tubuh Syanda yang menirus dan menghilang di balik tembok. Dua petugas satpam telah mengapitnya untuk menggiringnya masuk dan berkumpul dengan penghuni panti rehabilitasi lainnya.
Di luar, betapa inginnya Syanda berteriak lantang. Bahwa Aditya sama sekali tidak bersalah. Aditya bukan junkies . Tapi, siapa yang peduli? Bahkan, Aditya pun tampak pasrah dan tabah menerima kenyataan itu. Dipisahkan dari orang-orang tercinta.
Syanda menyusut airmatanya. Diayunkannya langkah lebih cepat menyusuri koridor panti rehabilitasi 'Nusa Bangsa'. Dia ingin ke kapel. Berdoa di sana. Melaburkan dirinya di dalam damai dan teduhnya sinar Ilahi. Suara B*Witched dari Radio Prambors FM masih memenuhi ruang kamar Syanda. Di atas bantal, Syanda merenung. Terlentang menatap langit-langit kamarnya. Tiada lagi hari-hari bersama Aditya. Tidak ada lagi acara JJS yang mengesankan. Tidak ada acara shopping bersama ke Blok M Plaza. Juga, tidak ada tawa canda ceria lagi di malam Minggu. Ah, betapa beratnya menerima kenyataan kehilangan sesuatu yang amat berarti dalam hidupnya secara tiba-tiba. Hari-harinya kini terasa terpenggal. Padahal baru beberapa hari berlalu. Apalagi satu tahun?
Syanda bergidik membayangkan. Tiga ratus enam puluh lima hari harus dilaluinya dalam kesendirian. Apakah dia akan mampu mempertahankan rasa sayangnya kepada Aditya? Apakah dia sanggup memerangi setiap kejenuhan yang datang? Belum lagi sindiran sana-sini yang akan membuat kupingnya memerah. Syanda pacaran dengan junkies! Pacar Syanda ada di panti rehabilitasi milik yayasan Katolik 'Nusa Bangsa'. Ah!
Tok-tok-tok.
"Masuk," ujar Syanda tak bergeming.
Pintu berderit, dibuka. Wajah Mama menyembul.
"Sedang apa, Syan?" tegur Mama lembut sambil melangkah masuk.
Syanda menggeleng.
"Melamun terus." Mama mengangkat bantal dan guling yang berserakan jatuh di lantai. "Berantakan betul kamarmu. Uh, sama kusutnya dengan wajahmu yang awut-awutan itu."
"Nanti Syanda rapikan."
"Sudahlah. Untuk apa memikirkan anak itu lagi? Sekarang terbukti kan, kata-kata Mama dulu?" ujar Mama dengan perasaan bangga.
"Apanya yang terbukti?!" Syanda tersinggung.
"Lho? Kurang bukti apa lagi? Aditya sekarang tengah dirawat di panti rehabilitasi untuk orang yang kecanduan obat-obat terlarang. Itu tandanya dia morfinis atau entah apalah namanya. Masa sih kamu tidak sadar juga, Syan?!" pekik Mama tertahan.
Syanda menggeleng.
"Bukannya Syanda membela Adit, Ma. Tapi, Mama harus tahu kalau polisi salah menjaring orang. Adit hanya ber...."
"Ah, Mama tahu semuanya, kok," potong Mama. "Mama sudah punya firasat yang buruk pada anak itu."
"Memang Mama tidak senang sama Aditya, kok! Kenapa sih, Ma?! Apa Aditya pernah bikin salah sama Mama?!" tanya Syanda serak sambil menatap kosong langit-langit kamar.
"Tidak. Mama tidak menyukainya karena dia dekat dengan anak Mama. Mama tidak mau anak perempuan Mama ikut-ikutan rusak! Belum lagi ocehan tetangga yang ramainya seperti pasar. Mau dikemanakan muka Mama ini?! Anaknya pacaran sama pemabuk, tukang kebut, berandalan. Kok, dibiarkan saja...."
Syanda menghela napas keras. "Tapi Aditya tidak seperti sangka Mama!"
"Kamu terus saja membelanya, Syan. Heran. Jangan-jangan kamu sudah dipelet."
"Dipelet? Dipelet pakai apa?! Apa Mama tidak tahu kalau Aditya rajin ke gereja?" bantah Syanda jengkel. Mamanya mulai tidak rasional.
"Ah, itu kan cuma pura-pura saja. Supaya kamu makin simpati kepadanya. Aslinya berandalan, ya tetap saja posisinya di tengah-tengah orang yang berandalan."
"Tidak! Aditya tidak bersalah. Dia memang bandel, tapi tidak seburuk sangka Mama. Dia bukan pemabuk, pecandu narkoba. Dia bukan berandalan!" seru Syanda gusar.
Mama tersenyum melecehkan.
"Kamu mau bela dia lagi? Mau bilang bahwa polisi salah menjaring orang?"
Syanda terdiam.
"Polisi tidak asal tangkap saja, Sayang. Mereka menyelidiki dulu. Kalau Aditya ikut terjaring, itu tandanya dia betul bersalah. Dia betul morfinis, atau apalah namanya. Sebab polisi tidak bakalan menahan orang tanpa bukti."
Syanda makin diam, terjerat oleh kata-kata Mamanya. Hatinya mulai ragu. Siapa yang salah. Polisikah? Mama? Atau, jangan-jangan justru Aditya yang begitu pandai mengelabuinya? Atau... ah!
"Berhentilah memikirkan dia." Mama mengelus kepala Syanda.
Sementara lagu terus mendayu-dayu, pikiran Syanda membelit benaknya sendiri. Hanya beberapa hari berlalu tanpa Aditya, tapi semua telah tampak demikian kabur. Masih beratus-ratus hari lagi, tentulah bayangannya akan semakin jauh dan makin tak kelihatan. Makin samar, lalu menghilang....
 
Whenever dark turns to night
And all the dreams sing their song
And in the daylight forever
To you I belong
Beside the sea
When the waves broke
I drew a heart for you in the sand
in fields where streams
Turn to rivers
I ran to you, you where there....

***
Aditya tampak kurusan dengan seragam hijau tuanya itu. Dagunya membiru habis dicukur. Rambutnya tidak lagi gondrong. Syanda menatap iba. Aditya yang dulu senantiasa bersemangat, kini harus menghabiskan detik demi detik di sebuah panti rehabilitasi. Segalanya harus diawasi. Segalanya dibatasi. Bagai terpenjara.
"Apa kabar, Dit?" sapa Syanda canggung.
"Aku baik-baik saja. Kamu?" Adit mencoba tersenyum. Tapi di mata Syanda senyumnya kelihatan hambar. Jujur, Aditya tentu tidak kerasan di tempat ini. Senyum tadi hanya untuk membahagiakannya saja. Hanya sekedar untuk mengusir rasa resah dari dalam diri Syanda.
"Ak-aku baik." Syanda tertunduk.
"Mamamu dan Santi?"
"Mereka baik-baik saja dan titip salam untukmu."
"Mamamu juga?!"
"Ya, Mama juga...."
Aditya menyeringai. "Kamu bohong! Mamamu pasti makin benci sama aku. Bahkan, Ibuku sendiri mulai bosan menjengukku
."
"Dit, kamu mau berjanji kepadaku?"
"Apa?"
"Berhentilah merokok. Berhentilah ngebut dan begadang setelah kamu keluar dari panti ini," pinta Syanda.
"Pasti. Pasti. Aku telah berhenti merokok, Syan. Dan di sini, aku lebih suka tidur ketimbang begadang."
"Syukurlah. Kamu juga tidak lupa berdoa, kan?"
"Tentu. Kebetulan di sini ada kapel. Kamu lupa, panti ini milik yayasan Katolik. Malah aku mulai akrab dengan salah satu pastornya," cerita Aditya agak bersemangat.
Tapi masih beratus hari lagi mesti kamu lalui di sini, bisik Syanda pedih. Masih adakah semangatmu esok? Lusa? Bulan depan?
"Kamu juga mendoakan aku?" bisik Syanda. Menggenggam jemari Aditya.
"Ya. Mendoakan kita. Aku dan kamu. Juga Mamamu."
"Mamaku juga?!"
"Ya. Aku menyesal. Seandainya saja sejak dulu kemauan Mamamu kuturuti, tentu Mamamu tidak akan menentang hubungan kita. Juga tragedi sialan ini tidak bakal terjadi...."
"Sudahlah, Dit!" Syanda menyentuh lembut bahu kekasihnya.
"Aku kangen kamu, Syan...."
"Kamu pikir aku tidak? Aku sering kebingungan menghabiskan malam Minggu-ku dengan membaca atau menonton TV," ujar Syanda.
"Kamu... ah maaf. Aku ingin tahu, apakah ada yang mengisi tempatku di hatimu selama aku tidak ada?" tanya Aditya hati-hati.
Syanda menggeleng. "Jangan bicarakan hal itu."
"Apakah kamu akan setia, Syan?" Aditya menatapnya dengan tajam.
Syanda makin rikuh. Dia takut Aditya membaca kebimbangan yang mulai sering merecoki hatinya. Ah, kamu tidak tahu bagaimana kejamnya dunia memusuhimu, Dit! Mempengaruhiku untuk meninggalkanmu dan merengkuh asa yang lebih baik. Selama ini aku mencoba bertahan tapi aku mulai ragu. Apakah pasak yang kita bangun bersama akan cukup kuat menyanggah setiap empasan badai yang datang? Sementara hari masih begitu panjang dan gersang. Apakah semua akan berlalu seperti rencana kita, Dit? Syanda membatin dengan kepala tertunduk. "Hei, kamu tidak datang untuk membingkiskan airmata untukku, kan?" goda Aditya, mencairkan kebekuan suasana, lalu menghapus titik airmata yang menempel di pipi kekasihnya tersebut.
Syanda tersenyum. Menyusut sisa airmata yang menggantung di sudut matanya yang tak tersentuh tangan Aditya tadi.
"Ma-maafkan aku, Dit. Aku sedih membayangkan hari-hari sepi yang harus kamu lalui sendiri di sini," kilahnya.
"Aku akan baik-baik saja."
Bel berbunyi. Memisahkan mereka kembali. Hari terus berganti dan roda terus berputar. Bagi Aditya, mungkin tidak terlalu sulit. Tapi aku? batin Syanda.
Syanda menyeret langkahnya meninggalkan panti rehabilitasi 'Nusa Bangsa' dengan hati galau. Dunia seakan menertawakan dirinya yang mau saja setia pada pemuda seperti Aditya. Duh!

Suara B*Witched dari Radio Prambors FM masih memenuhi ruang kamar Syanda. Di atas bantal, Syanda merenung. Terlentang menatap langit-langit kamarnya. Tiada lagi hari-hari bersama Aditya. Tidak ada lagi acara JJS yang mengesankan. Tidak ada acara shopping bersama ke Blok M Plaza. Juga, tidak ada tawa canda ceria lagi di malam Minggu. Ah, betapa beratnya menerima kenyataan kehilangan sesuatu yang amat berarti dalam hidupnya secara tiba-tiba. Hari-harinya kini terasa terpenggal. Padahal baru beberapa hari berlalu. Apalagi satu tahun?
Syanda bergidik membayangkan. Tiga ratus enam puluh lima hari harus dilaluinya dalam kesendirian. Apakah dia akan mampu mempertahankan rasa sayangnya kepada Aditya? Apakah dia sanggup memerangi setiap kejenuhan yang datang? Belum lagi sindiran sana-sini yang akan membuat kupingnya memerah. Syanda pacaran dengan junkies! Pacar Syanda ada di panti rehabilitasi milik yayasan Katolik 'Nusa Bangsa'. Ah!
Tok-tok-tok.
"Masuk," ujar Syanda tak bergeming.
Pintu berderit, dibuka. Wajah Mama menyembul.
"Sedang apa, Syan?" tegur Mama lembut sambil melangkah masuk.
Syanda menggeleng.
"Melamun terus." Mama mengangkat bantal dan guling yang berserakan jatuh di lantai. "Berantakan betul kamarmu. Uh, sama kusutnya dengan wajahmu yang awut-awutan itu."
"Nanti Syanda rapikan."
"Sudahlah. Untuk apa memikirkan anak itu lagi? Sekarang terbukti kan, kata-kata Mama dulu?" ujar Mama dengan perasaan bangga.
"Apanya yang terbukti?!" Syanda tersinggung.
"Lho? Kurang bukti apa lagi? Aditya sekarang tengah dirawat di panti rehabilitasi untuk orang yang kecanduan obat-obat terlarang. Itu tandanya dia morfinis atau entah apalah namanya. Masa sih kamu tidak sadar juga, Syan?!" pekik Mama tertahan.
Syanda menggeleng.
"Bukannya Syanda membela Adit, Ma. Tapi, Mama harus tahu kalau polisi salah menjaring orang. Adit hanya ber...."
"Ah, Mama tahu semuanya, kok," potong Mama. "Mama sudah punya firasat yang buruk pada anak itu."
"Memang Mama tidak senang sama Aditya, kok! Kenapa sih, Ma?! Apa Aditya pernah bikin salah sama Mama?!" tanya Syanda serak sambil menatap kosong langit-langit kamar.
"Tidak. Mama tidak menyukainya karena dia dekat dengan anak Mama. Mama tidak mau anak perempuan Mama ikut-ikutan rusak! Belum lagi ocehan tetangga yang ramainya seperti pasar. Mau dikemanakan muka Mama ini?! Anaknya pacaran sama pemabuk, tukang kebut, berandalan. Kok, dibiarkan saja...."
Syanda menghela napas keras. "Tapi Aditya tidak seperti sangka Mama!"
"Kamu terus saja membelanya, Syan. Heran. Jangan-jangan kamu sudah dipelet."
"Dipelet? Dipelet pakai apa?! Apa Mama tidak tahu kalau Aditya rajin ke gereja?" bantah Syanda jengkel. Mamanya mulai tidak rasional.
"Ah, itu kan cuma pura-pura saja. Supaya kamu makin simpati kepadanya. Aslinya berandalan, ya tetap saja posisinya di tengah-tengah orang yang berandalan."
"Tidak! Aditya tidak bersalah. Dia memang bandel, tapi tidak seburuk sangka Mama. Dia bukan pemabuk, pecandu narkoba. Dia bukan berandalan!" seru Syanda gusar.
Mama tersenyum melecehkan.
"Kamu mau bela dia lagi? Mau bilang bahwa polisi salah menjaring orang?"
Syanda terdiam.
"Polisi tidak asal tangkap saja, Sayang. Mereka menyelidiki dulu. Kalau Aditya ikut terjaring, itu tandanya dia betul bersalah. Dia betul morfinis, atau apalah namanya. Sebab polisi tidak bakalan menahan orang tanpa bukti."
Syanda makin diam, terjerat oleh kata-kata Mamanya. Hatinya mulai ragu. Siapa yang salah. Polisikah? Mama? Atau, jangan-jangan justru Aditya yang begitu pandai mengelabuinya? Atau... ah!
"Berhentilah memikirkan dia." Mama mengelus kepala Syanda.
Sementara lagu terus mendayu-dayu, pikiran Syanda membelit benaknya sendiri. Hanya beberapa hari berlalu tanpa Aditya, tapi semua telah tampak demikian kabur. Masih beratus-ratus hari lagi, tentulah bayangannya akan semakin jauh dan makin tak kelihatan. Makin samar, lalu menghilang....
 
Whenever dark turns to night
And all the dreams sing their song
And in the daylight forever
To you I belong
Beside the sea
When the waves broke
I drew a heart for you in the sand
in fields where streams
Turn to rivers
I ran to you, you where there....

***
Aditya tampak kurusan dengan seragam hijau tuanya itu. Dagunya membiru habis dicukur. Rambutnya tidak lagi gondrong. Syanda menatap iba. Aditya yang dulu senantiasa bersemangat, kini harus menghabiskan detik demi detik di sebuah panti rehabilitasi. Segalanya harus diawasi. Segalanya dibatasi. Bagai terpenjara.
"Apa kabar, Dit?" sapa Syanda canggung.
"Aku baik-baik saja. Kamu?" Adit mencoba tersenyum. Tapi di mata Syanda senyumnya kelihatan hambar. Jujur, Aditya tentu tidak kerasan di tempat ini. Senyum tadi hanya untuk membahagiakannya saja. Hanya sekedar untuk mengusir rasa resah dari dalam diri Syanda.
"Ak-aku baik." Syanda tertunduk.
"Mamamu dan Santi?"
"Mereka baik-baik saja dan titip salam untukmu."
"Mamamu juga?!"
"Ya, Mama juga...."
Aditya menyeringai. "Kamu bohong! Mamamu pasti makin benci sama aku. Bahkan, Ibuku sendiri mulai bosan menjengukku
."
"Dit, kamu mau berjanji kepadaku?"
"Apa?"
"Berhentilah merokok. Berhentilah ngebut dan begadang setelah kamu keluar dari panti ini," pinta Syanda.
"Pasti. Pasti. Aku telah berhenti merokok, Syan. Dan di sini, aku lebih suka tidur ketimbang begadang."
"Syukurlah. Kamu juga tidak lupa berdoa, kan?"
"Tentu. Kebetulan di sini ada kapel. Kamu lupa, panti ini milik yayasan Katolik. Malah aku mulai akrab dengan salah satu pastornya," cerita Aditya agak bersemangat.
Tapi masih beratus hari lagi mesti kamu lalui di sini, bisik Syanda pedih. Masih adakah semangatmu esok? Lusa? Bulan depan?
"Kamu juga mendoakan aku?" bisik Syanda. Menggenggam jemari Aditya.
"Ya. Mendoakan kita. Aku dan kamu. Juga Mamamu."
"Mamaku juga?!"
"Ya. Aku menyesal. Seandainya saja sejak dulu kemauan Mamamu kuturuti, tentu Mamamu tidak akan menentang hubungan kita. Juga tragedi sialan ini tidak bakal terjadi...."
"Sudahlah, Dit!" Syanda menyentuh lembut bahu kekasihnya.
"Aku kangen kamu, Syan...."
"Kamu pikir aku tidak? Aku sering kebingungan menghabiskan malam Minggu-ku dengan membaca atau menonton TV," ujar Syanda.
"Kamu... ah maaf. Aku ingin tahu, apakah ada yang mengisi tempatku di hatimu selama aku tidak ada?" tanya Aditya hati-hati.
Syanda menggeleng. "Jangan bicarakan hal itu."
"Apakah kamu akan setia, Syan?" Aditya menatapnya dengan tajam.
Syanda makin rikuh. Dia takut Aditya membaca kebimbangan yang mulai sering merecoki hatinya. Ah, kamu tidak tahu bagaimana kejamnya dunia memusuhimu, Dit! Mempengaruhiku untuk meninggalkanmu dan merengkuh asa yang lebih baik. Selama ini aku mencoba bertahan tapi aku mulai ragu. Apakah pasak yang kita bangun bersama akan cukup kuat menyanggah setiap empasan badai yang datang? Sementara hari masih begitu panjang dan gersang. Apakah semua akan berlalu seperti rencana kita, Dit? Syanda membatin dengan kepala tertunduk. "Hei, kamu tidak datang untuk membingkiskan airmata untukku, kan?" goda Aditya, mencairkan kebekuan suasana, lalu menghapus titik airmata yang menempel di pipi kekasihnya tersebut.
Syanda tersenyum. Menyusut sisa airmata yang menggantung di sudut matanya yang tak tersentuh tangan Aditya tadi.
"Ma-maafkan aku, Dit. Aku sedih membayangkan hari-hari sepi yang harus kamu lalui sendiri di sini," kilahnya.
"Aku akan baik-baik saja."
Bel berbunyi. Memisahkan mereka kembali. Hari terus berganti dan roda terus berputar. Bagi Aditya, mungkin tidak terlalu sulit. Tapi aku? batin Syanda.
Syanda menyeret langkahnya meninggalkan panti rehabilitasi 'Nusa Bangsa' dengan hati galau. Dunia seakan menertawakan dirinya yang mau saja setia pada pemuda seperti Aditya. Duh!

Kamu makin kurus saja, Syan," ujar Sonya sambil mengunyah permen karetnya. Mereka berjalan beriringan di antara para mahasiswa lain yang menuju ruang kuliah masing-masing.
"Ah, masa?" Syanda memperhatikan pergelangan tangannya. Dia selalu mengukur kondisi badannya dari pergelangan tangan. Dan dilihatnya tonjolan tulang di sana. Berarti Sonya tidak salah. Badannya memang menyusut beberapa kilogram.
"Masih sering menjenguk Aditya?"
"Tentu. Kalau bukan aku, siapa lagi?"
"Ibunya?"
"Ah, semua telah mengucilkan Aditya. Padahal, Aditya tidak bersalah," ujar Syanda seolah kepada dirinya sendiri.
"Tapi, itu kan pengakuannya terhadapmu?"
"Maksudmu, Aditya berbohong sama aku?!" Syanda menghentikan langkahnya sesaat. "Tidak mungkin!"
"Kamu begitu yakin?"
"Ya."
"Kamu tipe cewek setia, Syan," kelakar Sonya.
"Setia? Rasanya pujian itu terlalu berlebihan. Kamu perlu tahu, Son, akhir-akhir ini aku sering bimbang. Apakah aku harus terus bersedih? Atau, mulai berpikir untuk hari-hari dan masa depanku sendiri."
"Of course. Satu tahun bukan waktu yang singkat memang...." Sonya ikut merenung.
Syanda mengerjapkan matanya.
"Sudahlah. Kuliah apa hari ini?" ujarnya, mengganti pokok pembicaraan. Semangatnya selalu surut setiap kali membicarakan soal Aditya dan soal masa depannya bersama Aditya. Juga soal kesetiaan. Soal apa pun tentang Aditya hanya akan menumbuhkan kedukaan yang kian dalam saja. Makin membuatnya merasa bahwa hari penantian kian panjang dan tak berujung.
"Hari ini Kewiraan. Dua jam."
"Kewiraan lagi? Huh!" Syanda menghela napasnya.
"Pasti malas lagi. Bolos lagi?"
"Tauklah. Aku bosan sama Pak Irwan dan caranya mengajar itu. Setiap kali mata kuliah Kewiraan, aku hanya terkantuk-kantuk di ruang kuliah."
"Jadi?" Sonya menghentikan langkahnya di pertigaan koridor. "Kamu terus atau ke kiri?"
Syanda melirik ke kiri. Rasanya lebih baik dia menghabiskan siang ini di kantin saja. Seorang diri, menghabiskan waktu sembari menanti Sonya untuk pulang bareng nanti.
"Ke kiri saja." Senyum Syanda disambut cubitan jengkel Sonya.
"Tunggu aku, ya?" pesan Sonya sebelum berlalu.
Syanda melambai. Diayunkannya langkahnya ke kantin. Lantas dipesannya secangkir cappuccino dan sepotong roti keju bakar setibanya di sana. Ah, betapa segarnya badannya setelah beberapa hari dia menghindarkan diri dari tempat yang bernama kampus ini. Betapa jernih pikirannya setelah beberapa minggu dia menghindari tatapan orang-orang yang kebetulan tahu siapa dia dan siapa Aditya.
Diteguknya kopinya dengan semangat begitu pesanannya tersaji di hadapan. Ah, mana tisu? Syanda mengorek-ngorek tasnya untuk mencari sepotong tisu guna memegang roti bakar yang berminyak dan agak panas itu.
Pluk. Sebuah benda terjatuh dari tasnya. Korek api Aditya! Korek api yang dulu sempat disembunyikannya agar Aditya tidak merokok di rumahnya.
"Punyamu?"
Ups. Rupanya Syanda kalah cepat dengan tangan kekar yang kini menyodorkan benda itu kepadanya.
"Ya." Ditatapnya si penolong itu. Seorang cowok berambut cepak ala Tintin, berkemeja garis-garis dengan lengan baju yang dilipit rapi.
Cowok itu tersenyum simpatik.
"Terima kasih," ujar Syanda lagi.
"Sama-sama. Kamu kuliah di sini?" tanyanya lagi.
Syanda mengangguk.
Cowok itu menatap berkeliling. Rupa-rupanya kursi kantin telah penuh terisi. Syanda menatap cowok itu lantas mengambil inisiatif.
"Duduklah di sini kalau kamu mau."
"Oh, terima kasih. Kursi-kursi kantin selalu penuh pada jam-jam begini. Jam-jam lapar! Hahaha...." Cowok itu tertawa. "Oya, kita belum kenalan. Saya Ivan, Ivan Prasetyo. Fakultas ekonomi semester dua."
Syanda menyambut uluran tangan Ivan. "Syanda. Syandarini Aprilia Joshepine Munaf. Aku di fakultas psikologi. Baru semester pertama."
"Calon psikolog? Wah, saya harus hati-hati kalau begitu."
"Kenapa?"
"Katanya, psikolog bisa tahu apakah seseorang jujur atau berbohong hanya dengan menatap mata orang itu. Betul? Apakah ilmumu sudah sampai di situ?"
Syanda tertawa. "Ada-ada saja," kilahnya sembari menggeleng-gelengkan kepala.
"Eh, tapi ngomong-ngomong, rasanya saya memang sering lihat kamu dulu. Habis cuti kuliah?" tanya Ivan.
Syanda menggeleng. "Sakit," dustanya.
"Oo." Ivan manggut-manggut.
"Kamu tidak mesan apa-apa?" tanya Syanda.
"Nanti saja. Ngobrol dengan kamu membuat rasa laparku hilang."
"Oya? Jadi aku kamu anggap sejenis roti bakar, ya?" kelakar Syanda. Rasanya sudah lama betul dia tidak menemukan teman untuk diajak bercanda seperti ini. Mereka tertawa bersama. Keakraban terjalin begitu cepat.
"Keberatan kalau aku menganggapmu roti bakar?"
"Tidak. Tapi aku menyesal membiarkanmu duduk bersamaku kalau tahu kamu sebetulnya bukan perlu makanan, tapi perlu teman ngobrol saja saja," ujar Syanda santai.
"Jadi betul ...." desis Ivan.
"Apanya yang betul?"
"Seorang psikolog bisa menangkap maksud seseorang hanya dari tatapan matanya."
"Jadi...?" Syanda mengernyitkan alisnya tidak mengerti.
"Kebetulan aku ketemu kamu. Aku sedang butuh teman bicara. Hm, aku tengah menghadapi persoalan dengan...."
"Pacarmu?" penggal Syanda yakin.
"Yap! Seratus lagi buat kamu!" Ivan menjentikkan jarinya.
"Kamu percaya sama aku? Orang baru kamu kenal lima menit lalu?" pancing Syanda.
"Kenapa tidak? Tiba-tiba saja aku merasa menemukan orang yang tepat untuk nuangin unek-unek. Boleh?"
"No problem. Aku siap jadi waskom curhatmu, kok." Syanda tertawa.
Ivan latah. "Begini, pacarku itu, hm... namanya Mita. Kami satu fakultas, satu ruang kuliah malah. Belakangan ini kami selalu ribut. Soal kecil bisa jadi besar. Karena itu aku jadi malas ketemu dia lagi. Nah, akhirnya ya begini. Aku keseringan bolos jam kuliah. Kamu tahu, Mita tidak pandang tempat! Kalau dia ngambek, di mana pun jadi. Nah, kalau kejadiannya di ruang kuliah, mau kutaruh di mana mukaku yang berjerawat batu ini?" cerita Ivan bersemangat.
"Lantas?"
"Lantas aku ingin menyadarkannya. Bahwa, cowok perlu juga dimanja sesekali. Jangan ditekan terus, jangan diomelin terus. Tapi, aku bingung mencari kalimat yang tepat." Ivan mengusap-usap keningnya. "Dia terlalu egois dan mau menang sendiri! Susah ngatur dia!"
Syanda tersenyum. "Kamu merasa lebih lega sekarang?"
"Yah."
"Itulah. Lain kali kalau ada persoalan, ceritakanlah pada orang yang dapat kamu percaya. Walaupun belum tentu bisa mencarikan jalan keluarnya, tapi paling tidak dengan bercerita beban batinmu sudah sedikit berkurang," ujar Syanda sok tua. Mengutip kalimat dari literatur yang pernah dibacanya.
Ivan hanya manggut-manggut. Matanya yang jenaka dan cara bicaranya yang polos mengingatkan Syanda pada seseorang. Seseorang yang kini jauh darinya. Ah, kerinduan selalu datang tiba-tiba.
Sekelebat dilihatnya Sonya melambai dari kejauhan. Syanda bergegas merapikan tasnya lalu bersiap meninggalkan tempat duduknya.
"Hei... mau ke mana?" tahan Ivan.
"Temanku sudah menjemput."
"Tapi, kamu belum memecahkan masalahku."
"Lain kali saja. Oke?" Syanda berdiri, siap untuk beranjak. "Aku sendiri sedang banyak masalah."
"Lain kali? Kapan?" desak Ivan.
"Mungkin suatu hari di kantin ini kita ketemu lagi. Atau... entah kapan." Syanda mengangkat bahunya. Menatap roti bakar yang sama sekali belum disentuhnya.
"Kamu tidak ingin kita bersahabat?"
Syanda tersenyum, lalu melambai. "Sampai ketemu...."
"Hei, tunggu! Ini korek apimu!" panggil Ivan.
"Oh... trims." Syanda menghentikan langkahnya di bawah bingkai pintu kantin. Bergegas disambutnya benda kecil bergrafer 'A' di depannya.
"Kamu merokok?"
Syanda menggeleng. "Milik temanku," jawabnya hambar.
Ditatapnya Ivan sekilas. Dirasakannya ada kerinduan yang tertambat di mata Ivan. Sepasang mata yang pernah diakrabinya. Ah, sebetulnya dia ingin menghabiskan beberapa saat lagi bersama Ivan. Berbagi cerita. Bertukar canda seperti yang biasa dilakukannya bersama Aditya. Tapi, tidak mungkin. Ada yang tengah menunggunya jauh di sana. Ada yang terperangkap dalam sepi. Ada yang menagih kesetiaannya.
"Sampai ketemu." Syanda melambai kembali lantas bergegas menghampiri Sonya. Meninggalkan Ivan yang tengah melongong, menatap langkah gegasnya yang melesat secepat camar.
"Pak Irwan tidak masuk," urai Sonya tanpa ditanya.
"Tumben...." Halo." Syanda menyambut gagang telepon yang diberikan Santi kepadanya.
"Halo juga, Non. Masih ingat saya?"
"Maaf. Tidak. Ini dengan siapa, ya?"
"Nimo. Geronimo Panggabean. Masih lupa? Atau, perlu keterangan lainnya? Hahaha... apa kabar, Syan?"
Cowok bersuara bariton di seberang sana terdengar tertawa. Dan saat itu baru Syanda teringat. Tawa Nimo mengingatkannya pada masa-masa silam. Masa SMA-nya.
"Astaga! Apa kabar, Nimo?"
"Baik. Kamu sendiri?"
"Baik."
"Masuk psikologi, ya?"
"Kok, tahu?"
"Santi yang cerita."
"Oh. Kamu sendiri?"
"Aku ambil komputer di San Fransisco. Sedang liburan, kembali ke Jakarta."
"Welcome back, kalau begitu."
"Thank's. Hei, Kamu sekarang sombong, Syanda. Tidak pernah nelepon. Tidak pernah mengabari aku lagi. Sampai-sampai aku harus mencari tahu kabarmu lewat teman-teman SMA dulu," ujar Nimo dengan nada suaranya yang khas. Keras.
"Ah...."
"Bagaimana kabarnya, Aditya?"
"Ba-baik!" Syanda terbata.
"Aku turu... turut apa, ya? Mendengar kabar Aditya masuk panti rehabilitasi, aku ikut prihatin. Sungguh Syan, aku tidak nyangka Aditya seburuk itu. Aku...."
"Sudahlah!" penggal Syanda jengkel. "Kalau kamu hanya menelepon untuk membicarakan kejelekan Aditya, lain kali saja!"
"Oh, maaf. Tunggu dulu, Syan. Aku hanya...."
"Semua selalu menuduh Aditya yang bukan-bukan. Aditya yang salah, Aditya yang buruk, Aditya yang junkies. Lalu buntut-buntutnya aku yang bodoh, yang mau saja menanti cowok bengal tukang teler yang sudah tidak punya masa depan lagi!" seru Syanda dengan isak tertahan.
"Syanda...."
"Beratus kali sudah kukatakan kepada semua orang. Aditya tidak bersalah. Dan aku juga tidak salah menanti dia. Kesetiaanku selama ini bukanlah sesuatu yang tolol dan sia-sia. Kamu dengar itu?!"
Klik.
"Hallo! Hallo! Syan, Syanda...!"
Tapi Syanda telah membanting gagang teleponnya. Menuntaskan setiap percakapan tentang Aditya. Tentang kebodohan dirinya. Tentang penantiannya yang terasa sia-sia. Penantian yang tak berujung.
Benarkah tindakanku ini? Syanda bertanya kepada dirinya sendiri. Ditatapnya bayangan dirinya dalam cermin besar bufet di muka pesawat telepon. Ada seraut wajah tirus dengan sepasang mata sayu di sana. Aditya telah pergi membawa hari-hariku. Akankah dia kembali? Haruskah kutunggu dia dan kubiarkan diriku sendiri hancur oleh penantian dan kerinduan yang sarat? Tidak bolehkah aku sedikit memikirkan diriku sendiri? Membenahi hatiku yang porak-poranda dan menata kembali hari-hariku? Mencari secuil keceriaan, tawa dan semangat dari orang lain?
Sekilas seraut wajah melintas di benaknya. Ah, Aditya! Akankah semua usai dan berganti dengan hari-hari yang indah seperti dulu lagi?

***
Ruang tunggu di panti rehabilitasi 'Nusa Bangsa' masih sama seperti minggu-minggu yang lalu. Dua minggu sudah Syanda alpa menjenguk Aditya.
"Apa kabar?" sapa Aditya agak kering.
"Baik."
"Lama tidak kemari...."
"Kamu marah?" tanya Syanda hati-hati.
Aditya menggeleng. "Tidak ada yang salah. Kamu berhak merasa jenuh...."
"Aku tidak jenuh, Dit. Hanya saja... hanya saja kuliahku menuntut waktu yang agak banyak. Kamu tahu sendiri, beberapa waktu lalu nilaiku jeblok semua. Kini aku tengah memperbaiki segalanya. Memulai lagi dari awal, sendiri tanpa kamu. Kamu mengerti, kan ?"
Aditya mengangguk. "Aku sudah banyak menyusahkanmu, ya?" bisiknya lembut, menepuk punggung tangan Syanda dengan lembut. Ada getar rindu yang tercetus di sana .
Syanda menggeleng.
"Aku tidak memaksamu datang setiap minggu. Sungguh. Kalau kamu mau, kamu boleh tidak datang. Kalau kamu sibuk... ah, siapalah aku ini! Aku mulai terbiasa berkawan dengan sepi, kok!"
"Jangan ngomong begitu, Dit! Siapa bilang aku enggan datang? Aku sa-sama sekali...."
"Tidak ada pemaksaan...."
"Siapa bilang aku merasa terpaksa?"
"Lho? Kenapa kamu jadi mudah tersinggung seperti ini, Syan?" tanya Aditya agak terkejut.
"Aku menyempatkan diri datang dengan maksud mendengar ceritamu. Untuk menceritakan apa yang terjadi pada diriku selama ini. Untuk melepas rindu, tapi kamu malah menuduh yang bukan-bukan. Kamu bilang, aku bosan. Aku jenuh. Aku enggan. Apa-apaan sih, ini?" pekik Syanda kecewa. Padahal, dia merasa sudah cukup banyak berkorban untuk Aditya. Airmatanya mulai menitik.
"Syanda...!"
"Aku tidak ngerti, Dit! Kamu seperti tidak peduli, betapa sulitnya aku menghadapi situasi di luaran. Aku sendiri dikecam banyak orang. Bahkan, Mama dan Santi pun ikut-ikutan mengecamku. Mengatakan aku bodoh, menanti sesuatu yang tidak pasti."
"Jadi, kamu mulai bimbang?"
"Ak-aku tidak bimbang. Ke-kenapa kamu menuduhku yang bukan-bukan. Kamu bilang aku bosan. Aku jenuh. Aku...."
"Sudah, Syan. Cukup!" potong Adit tandas. "Kalau kamu datang ke sini hanya untuk memaki-makiku, kamu boleh pulang sekarang!"
"Aditya! Ka-kamu...!"
Aditya melepaskan genggamannya. Dibuangnya pandangannya jauh ke taman panti. Cepat atau lambat, dia telah menduga hal ini akan terjadi. Sebenarnya dia telah mempersiapkan diri sejak awal dia direhab di panti ini. Dia sudah menyiapkan dirinya untuk kemungkinan ini. Kemungkinan yang paling buruk. Dia sudah siap untuk ditinggalkan. Karena selama ini memang semua telah meninggalkannya. Ayahnya, Ibunya, bahkan Syanda pun kini mulai bimbang. Mulai ragu. Mulai menjauhinya.
"Dit, aku...."
"Sudahlah, Syan. Maafkan kata-kataku yang kasar tadi...." Aditya mengusap wajahnya seolah mengusir galau yang berkecamuk di benaknya.
"Aku maklum. Kamu kesepian di sini, Dit. Tapi, kamu juga harus mengerti keadaan dan penderitaanku di luar...."
Aditya mengangguk-angguk. "Aku mengerti semuanya. Aku juga mengerti kalau kamu mulai merasa penat dengan penantianmu...."
Syanda tercenung. Penatkah dia? Sejauh ini dia masih berusaha untuk bertahan pada janji-janjinya. Bahwa menanti Aditya bukanlah pekerjaan yang sia-sia. Bahwa kesetiaannya selama ini tidaklah percuma.
Tapi kini....
Sesaat mereka bertatapan. Berpelukan. Tapi rindu tak juga turut. Masih ada damba yang tersimpan. Entah sampai kapan....

"Nah, ketemu lagi!"
Syanda tersentak. Dan puluhan mahasiswa lain yang berada di perpustakaan itu pun ikut tersentak.
Ivan agak risih juga. "Maaf, aku mengejutkan kamu, ya?"bisiknya.
Syanda menggeleng, menunjuk pada sebilah papan bertuliskan: HARAP TENANG, RUANG BACA. Ivan tersipu. Diambilnya tempat duduk tepat di hadapan Syanda.
"Apa kabar?" bisiknya. "Long time no see, yeah?"
Syanda tersenyum. "Apa kabar juga pacarmu? Siapa namanya?"
"Mita."
"Ah, iya. Mita. Bagaimana?"
"Justru aku yang mau tanya sama kamu. Bagaimana?"
"Oo, maksudmu bagaimana penyelesaiannya?" tukas Syanda sambil mengerling.
"Iya, tapi jangan pakai mengerling begitu, dong. Demi lirikanmu, rasanya aku rela meninggalkan Mita," goda Ivan.
"Ah. Caramu bicara, caramu bercanda, mengingatkan aku kepada...."
"Aditya?" potong Ivan.
"Ka-kamu tahu?!" Syanda terbelalak. "Dari mana...."
Ivan mengangguk. "Aku tahu segalanya. Tentang kamu. Tentang Aditya-mu. Tapi, saat ini aku tidak ingin membicarakan siapa kamu dulu. Atau, siapa Aditya-mu. Aku tidak mau tahu semua itu. Aku hanya ingin berkawan denganmu. Dengan Syanda yang sekarang. Oke?" ujarnya, lugas namun tegas.
"Belum pernah ada orang seperti kamu sebelumnya," desah Syanda antara kagum dan terharu.
"Ah, sudahlah."
"Kamu mirip banget Aditya, Van," ujar Syanda sambil menatap lekat wajah di hadapannya.
Sesaat mereka saling memandang. Saling menelusuri apa yang ada dalam bayang binar mata masing-masing. Sampai akhirnya Syanda tertunduk jengah.
"Ma-maaf... aku teringat Aditya." Syanda menyadari telah kelepasan omong.
"Aku mengerti." Ivan tersenyum bijak.
"Jadi, apa yang bisa aku bantu sekarang?" Syanda menghela napas dan membelokkan arah pembicaraan.
"Tidak ada."
"Lho?"
"Aku sudah tahu jawabnya. Aku harus mengambil sikap tegas. Aku akan meninggalkan Mita. Di antara kami sudah tidak ada kecocokan lagi."
"Secepat itukah kamu mengambil keputusan? Padahal, tadi ketika baru masuk kamu masih meminta saran dariku. Aneh!"
"Setelah aku menatap matamu, aku tahu, aku harus berpisah dari Mita. Banyak yang tidak kutemukan dalam dirinya, tapi kutemukan dalam dirimu."
"Maksudmu...."
"Aku tidak bermaksud apa-apa. Hanya... selama ini aku seperti merindukan suasana ceria. Santai. Tidak bertengkar melulu."
Syanda tercenung. Agaknya setiap orang memang memerlukan saat-saat seperti itu. Saat yang pernah jadi miliknya dulu. Bersama Aditya. Ya, aku pun kehilangan saat-saat yang terindah dalam hidupku, Van! desis Syanda dalam hati. Dan betapa inginnya aku merengkuh kembali hari-hari yang indah itu lagi. Dan untuk itulah aku menanti. Masih beratus-ratus hari lagi... dan aku mulai bimbang. Haruskah kujalani ratusan hari itu dengan penantian, sementara di sekelilingku banyak yang menjanjikan kebahagiaan itu sendiri?
Di satu pihak, Syanda merasa bersalah mengkhianati Aditya. Tapi di pihak lain, dia merasa berhak memperoleh jalan hidupnya sendiri. Berhak melepaskan lingkar derita yang membelenggunya karena kesetiaan yang dipertahankannya.
"Kamu sudah makan siang?"
"Belum," geleng Syanda.
"Kalau begitu, aku yang meneraktirmu."
"Untuk apa kamu meneraktirku? Alasan apa yang membuatku harus menerima tawaranmu?"
"Ayolah...." Ivan menarik tangan Syanda. "Untuk jasamu memberiku jalan keluar dari masalahku."
Syanda tersenyum. Lalu, sembari tertawa-tawa kecil mereka beriringan meninggalkan perpustakaan yang senyap. Sebuah cerita baru yang menjanjikan babak baru mulai terbit.
Agaknya....

***
Dengan langkah ringan Syanda melangkah menapaki jalan setapak menuju serambi rumahnya. Acara makan malam bersama Ivan lumayan menyenangkan kalau tidak mau dibilang istimewa.
"Dengan siapa kamu pulang?" tegur Mama halus begitu Syanda menongolkan batang hidungnya di dalam rumah.
"Ivan, teman sekampus," sahut Syanda ringan.
"Cowok bersedan merah itu lagi, ya? Sudah tiga kali kalau tidak salah kamu pulang dengan... siapa namanya?" sambung Santi sambil mengunyah popcorn.
"Ivan. Namanya Ivan Prasetyo. Mahasiswa tingkat dua fakultas ekonomi." Syanda melepas sepatunya dan mencuci tangannya lalu beranjak ke dapur. Membuka kulkas dan menuang sebotol sirup jeruk dingin ke dalam gelasnya.
"Rasanya aku kenal Ivan," Santi menyusul ke dapur. "Dia kan, seniorku ya?"
"Mungkin. Ya ampun, kenapa aku bisa sampai lupa kalau kamu juga di fakultas ekonomi? Aku selalu mengingat kamu anak teknik sebab waktu SMA dulu kamu kan, jurusan IPA."
"Yoi." Santi mengangguk-angguk. "Ivan. Hm, boleh juga. Lumayan dijadikan gandengan buat JJS."
"Dasar!" Syanda pura-pura sewot.
"Maksudku, kamu tidak salah memilih." Santi terkekeh.
"Siapa memilih siapa?" tanya Syanda, mencibir kemudian.
"Kupikir kalian...."
"Jangan macam-macam kamu. Kita cuma teman biasa. Tidak lebih dari itu. Kalau kamu mau tahu yang lebih dari sekedar teman, tidak ada nama lain selain Aditya. Tahu?"
"Teman atau teman?" goda Santi lagi.
Syanda melotot.
"Tidak usah ngotot begitu, dong," sungut Santi sambil membuntuti Syanda keluar dari dapur.
"Habis, kamu picik betul, sih. Baru jalan bersama saja dibilang pacaran. Tidak semudah itu aku melupakan Aditya! Memangnya aku gadis ABG seumur kamu yang tahunya cuma cinta monyet."
"Iya deh, yang cinta gorila!" Santi mencibir.
"Eh, ada apa ini?!" lerai Mama. "Pulang-pulang kok, malah ribut sama adiknya."
Santi membanting dirinya di atas sofa di sebelah Mama. "Biasa, Ma...."
"Biasa apa?!" Syanda melotot.
"Lagi kangen sama Aditya, ditanya sedikit sudah marah-marah," jawab Santi dengan entengnya.
"Eh eh, ngaco kamu!" tukas Syanda marah.
"Huss... Syanda, sudahlah. Maksud Santi kan , baik. Lagipula, apa untungnya tetap memikirkan Aditya? Lupakanlah dia. Bina hari esokmu sendiri. Kamu akan lebih baik tanpa Aditya. Dengarlah kata-kata Mama, Syan." Mama memijit-mijit pelipisnya. Dahinya mengerut membentuk lipatan tujuh.
Syanda terdiam.
"Kapan-kapan, kenalkan Mama sama Ivan. Boleh, kan ?" ujar Mama lagi.
Syanda menggigit bibirnya. Mengapa semua orang seolah ingin memisahkannya dari Aditya?! Mengapa tidak seorang pun mendukungnya untuk tetap setia terhadap Aditya?! Apakah mereka tidak tahu bahwa dalam hatinya pun tengah berkecamuk perang antara tetap setia dan menggapai masa depan sendiri?! Antara tetap setia atau berpisah?! Mengapa tidak seorang pun meyakinkannya untuk tetap setia?! Mengapa?!
"Syanda...," panggil Mama.
Tapi Syanda tak peduli. Dilangkahkannya kakinya berlari memasuki kamarnya. Mengunci diri di sana. Membiarkan keheningan melarutkannya dalam lamunan. Dalam angan-angan kebimbangan, dia harus memilih. Tapi saat ini dia enggan memilih siapa pun.
Dit, doakan agar aku tetap berpegang pada janji-janji yang pernah kita ucapkan bersama. Aku sayang kamu, Dit. Aku rindu kamu. Tapi rindu yang seolah tak berujung ini malah menyeretku pada kebimbangan demi kebimbangan.
Syanda membatin galau. Setiap hari dia berdoa untuk Aditya. Melakukan segalanya untuk Aditya. Namun, akhirnya dia sadar. Dia hanya manusia biasa. Dia bukan bidadari yang memiliki kesetiaan tanpa batas.

Hari terus bergulir bagai roda pedati yang terus berputar. Dan Syanda semakin larut dalam memori indah hari-harinya yang hilang dulu. Segalanya. Hampir segalanya ditemukannya dalam diri Ivan. Semua sifat Aditya, tercermin dari sikap dan tingkah Ivan. Di sana , ada kebahagiaan yang pernah menjadi bagian termanis dalam hidupnya. Tanpa dia sadari, semua itu semakin melarutkannya. Menyeretnya lebih jauh ke alam yang sebetulnya semu. Yang sebetulnya sama sekali tidak diinginkannya.
Senja itu, seusai menghabiskan seharian waktu JJS di Plaza Senayan, mereka beristirahat di Starbucks.
"Minum apa?" tanya Ivan pada Syanda sewaktu pelayan datang.
"Cappuccino."
"Makan?"
Syanda menggeleng.
"Cappuccino satu, espresso satu, dan roti cruissant-nya," ujar Ivan pada pelayan.
"Kenapa kamu baik banget sama aku, Van?" tanya Syanda, lebih untuk dirinya sendiri.
"Aku? Baik sama kamu? Kamu ini lucu." Ivan tersenyum.
"Ak-aku... ah maksudku, sebelumnya belum pernah ada orang setulus kamu selain...."
Mereka bertatapan. Tanpa sadar, sesaat jemari mereka saling menggenggam, namun Syanda sadar dan cepat menariknya.
"Maafkan aku," tukas Ivan, seperti tahu apa yang ada di benak gadis di hadapannya. Seolah tahu bahwa Aditya masih menjadi bayang-bayang baginya.
"Mungkin aku adalah orang terbodoh di dunia," keluh Syanda. "Seorang calon psikolog yang tidak mampu menolong dirinya sendiri."
"Aditya...."
"Dia...."
"Aku tidak pernah memaksamu untuk bertindak apa pun, Syan."
"Aku tahu, karena itu kukatakan kamu adalah satu-satunya orang yang tulus yang pernah kukenal selain Aditya."
Ivan terdiam dengan pandangan menerawang. Ludahnya tiba-tiba memahit.
"Ak-aku takut dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Tapi, ah... lupakanlah. Bicaraku memang tidak karuan." Syanda mengibaskan tangannya seolah ingin mengusir pikiran yang sempat melintas barusan.
"Kamu masih mempertahankan kesetiaan bagi Aditya?" tanya Ivan perlahan. Di matanya tersimpan berjuta harap cemas.
Syanda mengangguk. Tapi sesaat kemudian menggeleng. Mengangkat bahunya seperti orang bingung yang tidak memiliki pegangan sama sekali.
"Aku tidak tahu," desisnya.
"Kamu sedang gundah, Syan. Dan aku tidak pernah memaksamu untuk memutuskan apa pun. Biarlah waktu yang mengatur segalanya...."
"Yang aku tahu, aku harus menyelesaikan semuanya," putus Syanda sambil menatap lurus ke dinding kaca berlogo Starbucks.
"Maksudmu, kamu akan...?"
"Aku akan mengosongkan hati dan pikiranku sementara waktu tanpa seorang pun yang mengganggu."
"Ja-jadi...?"
"Aku harus memberi tahu Aditya. Kurasa... ah, bagaimana pendapatmu?"
Percakapan terhenti sesaat ketika pesanan mereka datang. Syanda mengaduk-aduk cappuccino-nya tanpa semangat. Sementara Ivan menatap roti cruissant -nya dengan perasaan hambar."
"Itu keputusan yang baik. Tapi, apakah tidak terlalu terburu-buru?"
"Tidak. Orang-orang benar, aku harus mulai memikirkan diriku sendiri. Masa depanku."
"Kamu mencintainya, Syan?" Ivan seolah menuntut jawaban yang pasti.
Syanda mengangkat bahunya seraya menghela napas berat. "Sejak dulu aku tidak pernah tahu jawabannya."
"Kamu harus membuktikannya."
"Caranya?"
"Mungkin dengan tidak menemuinya untuk sementara waktu. Atau... ah, aku bingung!"
Syanda tertawa dengan mimik paksa. Entah apa yang ditertawakan. Mungkin jalinan kehidupannya yang terasa kian rumit dari hari ke hari.
Mereka menghabiskan minuman dan makanan tanpa banyak bicara. Ketika mendung memayungi bumi, mereka beranjak meninggalkan Starbucks. Di luar, senja mulai basah oleh gerimis.
Syanda menerawang.
Dibiarkannya Ivan memakaikan jaketnya dan menggandengnya menuju mobil. Perhatian dan kesabaran Ivan semakin membuatnya terjerat. Semakin mendilematisasikannya terhadap dua pilihan yang sama-sama sulit.
Aditya adalah bagian dari hari-harinya yang dulu. Dan Ivan....
"Ke mana sekarang?" tegur Ivan ketika mobil mulai melaju meninggalkan pelataran parkir.
"Ke mana lagi? Sudah seharian kita jalan-jalan, atau apa kamu mau bawa aku ke bulan?" canda Syanda."
"Mungkin. Ke mana saja, asal kamu tidak bermuram durja begitu."
Sekilas dirasakannya tangan Ivan membelai pelipisnya. Ah.
"Hentikan segala kebaikanmu ini, Van," desahnya perlahan.
Sungguh. Dia tidak ingin mengkhianati Aditya.

***
"Aku mendapat sms dari Aditya," lapor Syanda kepada Sonya melalui horn di HP-nya.
"Oya?"
"Ya. Dan aku butuh pertimbanganmu."
"Apa yang ditulisnya?"
"Antara lain, dia kangen. Dia bingung karena aku tidak membesuknya lagi. Dia bertanya tentang banyak hal."
"Jadi, kamu benar-benar sudah tidak pernah mengunjunginya lagi?" pekik Sonya tertahan. "Gila kamu! Sebuah revolusi yang tidak pernah kuduga sebelumnya."
"Kini aku harus memutuskan sesuatu, sebelum melangkah lebih jauh."
"Dengan Ivan?"
"Ah, Sonya. Antara aku dan Ivan tidak pernah ada apa-apa. Bagiku, dia adalah dewa penyelamat. Aku tidak pernah berani membayangkan lebih dari itu."
"Lalu, apa rencanamu?"
"Aku akan membalas sms-nya, atau mungkin mendatangi Aditya dan menceritakan semuanya. Kurasa, keterusterangan lebih baik sekalipun kelihatannya menyakitkan. Aku tidak mau membohongi Aditya."
"Kamu masih mencintainya, Syan? Soalnya, aku merasakan hal itu dari ucapanmu."
"Cinta? Ak-aku...."
"Sudahlah...." Sonya tidak mau peduli. Dia sadar benar kalau Syanda masih menyimpan perasaan cintanya untuk Aditya.
"Jadi, menurutmu, apakah aku harus juga memberitahu Ivan?"
"Ya, kalau prinsipmu adalah keterbukaan. Tapi, hei... kamu kan tidak mengatakan bahwa kamu mencintai Ivan?"
"Son, please. Berhentilah mengucapkan kata 'cinta'," pinta Syanda.
"Oke." Sonya tertawa.
"Tapi, Son, aku ragu. Aku takut perbuatanku hanya akan menambah luka hati Aditya. Kamu kan tahu, selama ini semua orang telah meremehkannya. Meninggalkannya. Apa jadinya kalau aku pun, orang yang paling dipercayainya, ikut berpaling dari dia?!"
"Syan, kamu kan tetap temannya. Hanya saja ikatan yang ada di antara kalian kini agak renggang. Tidak serapat dulu. Jelaskanlah kepadanya. Kamu kan, calon psikolog...."
Syanda menghela napas panjang.
"Masih ada lagi?" tanya Sonya.
"Tidak. Thank's."
Syanda mematikan HP-nya. Hatinya berdebar. Dia harus membenahi kehidupannya sendiri. Dia tidak selamanya harus bergantung pada kesetiaannya menanti Aditya. Dan membiarkan hidupnya sendiri porak-poranda. Selama ini orang-orang ternyata benar, hanya saja dia yang kelewat sentimentil. Menutup mata dan telinganya rapat-rapat hingga dibutakan oleh cinta.
Pikirannya melayang pada Ivan. Ataukah, keputusan ini datang karena ada Ivan? Karena ada yang menjanjikan hari baru? Mungkin dia akan membiarkan waktu mengatur segalanya. Seperti kata Ivan, believe in time.
Maafkan aku, Dit. Tapi kurasa ini yang terbaik untuk kita. Syanda membatin. Setelah itu dia lalu mengacungkan cangkirnya tinggi-tinggi seolah menyalami Aditya sebagai tanda perpisahan. Lalu meneguk cappuccino-nya sampai tandas.
Dibacanya kembali penggalan sms Aditya yang diterimanya siang tadi.
 
Syanda,
Maafkan aku kalau sikap dan kata-kataku tempo hari menyakiti hatimu, membuatmu tersinggung. Aku tahu, prahara inilah yang menyebabkan keretakan di antara kita. Kerenggangan, ketidakdekatan kita, memang membuat kita masing-masing asing dan berubah.
Dan, aku yang seolah terpenjara kini hanya dapat merenda impian indah bersamamu. Bertemu denganmu, adalah anugerah yang terindah dalam hidupku kini. Namun aku sadar, sadar sepenuhnya untuk tidak terlalu menuntut banyak darimu. Sebab, aku tahu banyak hal yang dapat membahagiakanmu di luar sana ketimbang mengharap pemuda ringkih tanpa daya yang mendekam di panti ini.
Aku mafhum kalau kamu sekarang lebih memilih renjana indah. Bukannya renjana tak berujung dalam sarat beban penantian yang panjang. Lupakanlah aku, Syanda! Lupakanlah masa lalu kita berdua. Aku ikhlas melihatmu berbahagia dengan siapa pun yang dapat membahagiakanmu. Jangan tunggu aku lagi, sungguh pun aku rindu kabarmu, wajahmu, suaramu. Segalanya. Segalanya tentang kamu!
Tuhan beserta kita.
 
Salam sayang,
Aditya
 
Syanda kembali menghela napas panjang. Dia harus sesegera mungkin menemukan jawaban hatinya. Dia untuk siapa. Lalu, diputuskannya hengkang dari Jakarta . Mungkin pada sebuah tempat nun jauh di sana, dari setiap permenungan yang dijalaninya, dia dapat menemukan jawaban. Ada butiran hangat sebesar bulir padi yang masih mengalir di pipinya. Kepalanya memberat. Dia merasa pening tiba-tiba.

Syanda mengemasi barang-barang yang akan dibawanya ke dalam koper. Pakaian, iPod Apple, kamera, dan beberapa perlengkapan yang diperlukannya untuk mengusir sepi di tempat pengasingannya nanti.
"Semua ini tidak bakal menyelesaikan masalah," ujar Mama, berusaha menahan kepergian putri sulungnya itu.
"Tidak, Ma."
"Apanya yang tidak? Bagaimana dengan kuliahmu?" Mama membelai rambut Syanda. "Tidak seharusnya kamu lari di saat seperti ini, Syan! Ini bukan jalan keluar!"
"Tapi, Syanda harus pergi, Ma. Syanda sudah izin cuti semester. Syanda perlu istirahat."
"Kenapa? Bukankah kamu di sini telah...."
"Maksud Mama... Ivan?!" desis Syanda getir.
"Yah, siapa pun...."
"Sudahlah, Ma...." Syanda menutup kopernya sambil berusaha menghentikan ocehan Mamanya.
"Jangan pergi, Syan...." bujuk Mama dengan tatapan kecewa.
Syanda menggeleng. Dialihkannya matanya keluar jendela. Pikirannya menerawang. Sesuatu yang sejak dulu tak mampu dijawabnya. Itulah yang memaksa dan membulatkan tekadnya untuk pergi sesaat. Menguji diri dan mencari jawaban yang pasti. Mencari cintanya yang sejati!
"Syan...!" Wanita separo baya itu menghela napas panjang. "Ivan baik...."
Syanda menatap Mamanya. Wanita yang dikasihinya itu memang tidak menyukai Aditya. Dan rasanya semua orang pun akan bersikap sama. Ivan dibandingkan Aditya memang ibarat bumi dan langit. Syanda heran, mengapa dia merasakan kebahagiaan yang sama. Padahal, dua pemuda itu amat berbeda. Amat berbeda!
"Saat ini Syanda memang dekat dengan Ivan, Ma. Sementara Aditya berada jauh dari Syanda. Kalau Mama menyukai Ivan, Mama tidak salah. Tapi tolong, biarkan Syanda mengambil keputusan sendiri, Ma. Syanda akan mencari jawabannya," pinta Syanda. Matanya terasa hangat.
"Ivan tahu rencana keberangkatanmu?" tanya Mama akhirnya dengan nada suara pasrah.
"Tidak seorang pun tahu. Tidak Ivan, tidak Aditya. Tidak siapa pun tahu ke mana Syanda akan pergi, dan berapa lama!"
"Tidak juga Mama?! Syan, kamu akan memberitahu tempat tinggalmu kepada Mama, kan ?" tanya Mama penuh harap.
Syanda mengusap wajah. Bukan tidak mungkin Mama-lah yang akan menjadi orang pertama yang paling bersemangat mengacaukan acara pengasingannya. (Meski jauh-jauh hari Papa sudah mengusulkan agar Syanda kuliah di Yogyakarta atau Solo dan belajar hidup mandiri di sana , tapi baru kali inilah terpikir olehnya). Dia juga yakin kalau Mama tidak akan berhenti menghalangi niatnya sebelum mendapat jawaban yang pasti tentang perpisahannya dengan Aditya. Karena itu digelengkannya kepalanya.
"Ya, tidak juga Mama. Papa. Santi. Maafkan Syanda, Ma. Untuk kali ini saja biarkanlah Syanda melakukan sesuatu atas dasar keinginan Syanda sendiri. Bila tiba saatnya, Syanda pasti akan mengabari Mama, Papa, dan Santi."
Dipeluknya Mamanya. Direbahkannya kepalanya di bahu bidang Mama. Dijatuhkannya airmatanya di sana . Perpisahan memang terasa berat. Namun keputusan telah bulat. Mungkin dalam kesendiriannya nanti akan ditemukannya jawaban yang dicarinya selama ini. Sebuah jawaban untuk menjawabi kebimbangan dan dilematisasi yang selama ini melingkupi hidupnya.

***
Lagu lawas 'Miss You Like Crazy' dari The Moffatts yang menemaninya selama perjalanan dalam kereta api masih mengalun di telinganya lewat dua kabel iPod Apple. Ah, sebetulnya haruskah kuteruskan rencana kepergianku ini? Apakah yang kucari di sana? Hanya sebentuk keputusan, dan untuk itu harus juga kutinggalkan Ivan dengan segebung cinta yang tulus diberikannya untukku? Apakah kepergianku ini tidak hanya sekedar pelarian diri belaka? Syanda membatin galau. Dipijitnya keningnya yang terasa pening. Dimatikannya iPod Apple dan dicopotnya kabel earphone yang menyambung di telinganya. Terdengar gerus deru kereta api. Dibukanya jendela. Angin dingin menerpa wajahnya yang masai.
"Maaf, apakah tidak lebih baik jendelanya ditutup saja?" Sebuah suara tiba-tiba menegurnya dari arah belakang. Dari deretan kursi di belakangnya.
Syanda tercekat. Suara itu memaksanya untuk menoleh ke belakang. Untuk memastikan bahwa....
"Astaga...!"
"Yap. Aku ikut. Kamu marah?"
"Ka-kamu...."
"Kursi sebelahmu kosong?"
Syanda mengangguk, masih setengah tercengang.
Ivan bergerak, berpindah tempat duduk. Tubuhnya sedikit limbung karena getaran di kereta api.
"Lebih sulit berjalan di kereta api ketimbang di pesawat udara," keluh Ivan dengan mimik jenaka.
"Ivan, sebelum aku marah, katakan dari mana kamu tahu tentang kepergianku ini?" tanya Syanda dengan hati tidak menentu. Apakah dia harus jengkel karena Ivan mengacaukan rencananya, ataukah dia harus gembira karena ternyata....
"Baiklah, sebelum kamu marah, sebelum aku bercerita, aku minta jaminan bahwa kamu tidak bakal memusuhi 'si Mata-mata' itu?"
"Oke. Aku janji."
"Sonya...."
"A-anak itu...?!"
"Hei, kamu sudah janji...."
"Oke, oke. Aku tidak marah, kok."
"Suer?"
Syanda mengangguk dan tertawa geli menyaksikan mimik bersalah Ivan. Amarahnya yang sempat mengubun tadi perlahan mereda.
Ivan menghela napas. Ditatapnya seraut wajah mungil dengan rambut tergerai di hadapannya. Wajah yang belakangan ini membuat hari-harinya menjadi bergairah setelah berpisah dengan Mita. Wajah yang membuatnya lebih mengenal arti hidup ini. Wajah yang selalu ingin disimpannya dalam hati. Selalu....
"Mengapa kamu tidak memberitahuku keberangkatanmu ini?" tuntut Ivan serius. Dahinya mengerut.
Syanda tergagap. "Ak-aku... aku bahkan tidak memberitahu Mama."
"Aku mengerti. Tapi untuk apa semua ini, Syan?!"
"Untuk masa depanku. Mungkin kamu tidak mengerti, Van. Tapi bagiku, ke mana kaki akan melangkah harus diputuskan dengan sungguh-sungguh. Karena aku takut kecewa. Takut salah langkah."
"Maksudmu?"
Syanda tertunduk. Haruskah dijelaskannya bahwa hatinya masih terpaut utuh pada Aditya?! Haruskah Ivan tahu bahwa bayang Aditya pun masih sering menghiasi mimpinya?!
"Kenapa kamu pergi, Syan?!"
"Aku pergi untuk mencari jawaban demi diriku sendiri, Van. Karena itu, biarlah kucari jawaban itu sendiri tanpa dipengaruhi siapa pun. Tidak terkecuali kamu yang baik kepadaku!" Airmata Syanda menggenang. Di luar, deru kereta semakin menderas.
"Seandainya saja aku dapat menolongmu mencari jawaban itu," desah Ivan seraya menghela napasnya.
"Kamu bisa menolongku!"
"Caranya?"
"Turun di peron terdekat. Tinggalkan aku!" ujar Syanda, tidak berani menatap mata elang Ivan. Dia tahu, hatinya tidak akan kuat bila memandang tatapan tulus dan penuh harap dari Ivan. Tatapan yang begitu menjanjikan namun harus segera dienyahkannya.
"Ja-jadi... kamu sungguh-sungguh... ah, Syan! Ak-aku mencintaimu! Aku tidak ingin ada cowok lain dalam hatimu. Sumpah, aku cinta kamu!" Ivan menggenggam erat lengan Syanda dan berbisik dengan suara parau ke telinga Syanda.
Hening sesaat. Kereta terus melaju sampai pluit terdengar tanda kereta memasuki peron perhentian sesaat. Tangan mereka masih saling menggenggam erat. Erat sekali.
Syanda menatap Ivan dengan hati tidak menentu. Betapa ingin kepala ini mengangguk, betapa ingin kusambut mata yang menjanjikan itu, betapa ingin kutumpahkan tangis di dada bidang itu. Betapa....
Ah, betapa sulit untuk memutuskan itu semua, karena jauh di sana, ada sepotong hati di mana terlanjur kutorehkan janji. Sepotong hati di mana telah terajut banyak kenangan. Kepala Syanda menggeleng kecil, perlahan dan ragu.
"Syan... ka-kamu...!" Ivan mendesah serak.
"Van, aku harus mencari jawaban itu dari diriku sendiri. Jawaban itu tidak datang dari kamu. Tidak dari siapa pun. Kamu mau mengerti, kan ?"
Ivan menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan airmata yang menggantung di sudut matanya. Belum pernah Ivan secengeng ini, batin Syanda getir. Aku telah melukai hatinya, tapi itu lebih baik ketimbang nanti kulukai dia dengan pilihanku yang keliru.
"Aku harus jujur kepada diriku sendiri, Van. Saat ini aku ragu. Cobalah untuk mengerti. Aku tidak ingin mengecewakan siapa pun. Tidak kamu, tidak Aditya!"
"Ja-jadi... kamu masih menyimpan Aditya dalam hatimu?!"
Syanda tertegun. Jadi dia masih menyimpan Aditya dalam hatinya?! Perlahan kepalanya mengangguk.
"Ya!"
"Ja-jadi...."
"Aku mencintainya!"
"Sadarilah, Syan. Selama ini, apa yang diberikan Aditya untukmu? Tidak ada selain penantian, penderitaan, kesepian dan kemarahan Mamamu belaka. Tapi ternyata, kamu masih tetap menyimpan namanya dalam hatimu. Bahkan dengan kehadiranku, dengan segala kebahagiaan yang berusaha kuberikan untukmu agar melupakan Aditya, kamu masih tetap bertahan. Kamu ragu, itu wajar. Tapi bagiku, segalanya telah terjawab!" Ivan mengangkat dirinya dari bangku kereta.
"Ivan...!"
"Aku harus bergegas, kalau tidak kereta ini akan terlanjur berangkat lagi dan membawaku ikut ke tempat pengasinganmu di Solo. Aku akan turun di sini!" Ivan mengulurkan tangannya seperti hendak memberi selamat.
"Ma-maafkan aku, Van...."
"Selamat, Syan. Belum pernah kutemukan gadis setegar dan sesetia dirimu. Seandainya aku adalah Aditya, betapa bahagianya aku."
Syanda ternganga. Pluit panjang berbunyi lagi tanda kereta api akan segera meninggalkan peron persinggahan. Ivan bergegas menjinjing travelling bag-nya. Rupanya keputusannya telah bulat. Sesaat Syanda tercenung bimbang.
Betapa inginnya dia menarik tangan Ivan dan mengajaknya ikut ke tempat pengasingannya. Betapa rindunya dia mendengar tawa dan canda yang selama ini mengakrabinya! Dan, semuanya itu dari Ivan. Ketulusan yang ditampiknya atas nama cinta pertama.
Perlahan dirasakannya airmata mengalir di pipinya. Sebilah jari hangat menyusutnya. Membelainya. Mungkin untuk yang terakhir kalinya.
"Selamat tinggal, Syan. Keraguanmu adalah jawaban bagiku!"
"I-Ivan... ak-aku sayang kamu," desah Syanda terisak.
"Tidak, Syan. Airmatamu adalah airmata untuk Aditya. Aku merasakan itu sejak lama. Sesaat masih kucoba untuk mengajakmu melangkah bersamaku, hanya bersamaku. Belakangan ini aku tahu kamu tidak mungkin melupakan Aditya!"
Pluit panjang berbunyi lagi.
"Aku harus pergi!" Ivan mengecup kening Syanda sekilas.
Mata Syanda memejam. Dia tidak berani membuka matanya dan menatap hilangnya Ivan dari gerbong. Dia takut kakinya akan bergerak mengejar Ivan. Deru kereta api terdengar lagi. Makin lama makin cepat. Berlomba dengan deras airmata yang mengalir membasahi pipi Syanda. Makin lama makin deras.
Sebenarnya apa yang kucari selama ini? Sekeping cinta atau hanya seonggok kebahagiaan semu belaka? Lewat jendela kereta api, Syanda menatap jauh ke langit luas. Berdoa agar di sana ada jawaban untuknya.
Namun semua tetap membisu.

Aditya tertegun membaca puisi yang didapatinya dalam sebuah majalah. Dan nama penulis puisi itu makin membuat dadanya bergetar.
Suatu tempat dalam kurungan hening
Jalan-jalan dengan lampu temaram
Keriuhan menjelma dalam senyap
Mengajarkan hati 'tuk bersikap sederhana

Kota telah lelap tertidur
Kudengar suara mendengkur
Kututup buku harianku
Bisikkan merdu di telingaku

Bahwa tak 'kan kutemukan lagi
Orang yang pernah kau tinggalkan
Oh, Cintaku yang sejati
Tangisku pecah bersama bumi

Syanda!
Kurang lebih setahun. Ah, nama itu masih begitu lekat di hatinya. Bahkan, menjelang saat-saat terakhirnya di panti rehabilitasi ini. Beratus-ratus hari lewat sudah. Aditya membalik kalender yang penuh coretan merah. Begitu banyak coretan merah yang menandakan ketidakhadiran Syanda.
Dan hari ini, nama itu sekonyong-konyong kembali berdenyar. Sejak kapan Syanda menulis puisi? Aditya tahu bahwa Syanda telah pergi jauh. Entah ke mana. Semua diketahuinya dari Sonya. Namun hingga detik ini tidak ada sebaris pun sms terkirim di HP-nya. Tidak sepotong berita pun terbang ke telinganya sekadar memberitahu tujuan Syanda mengucilkan diri. Apakah untuk menghindariku? Apakah dia malu? Aditya membatin dengan gundah.
Beratus hari di panti rehabilitasi ini membuatnya merasa selangkah lebih dewasa. Dari Romo Dirgo dia banyak belajar tentang Tuhan. Tentang kebatilan dan kebajikan. Dan semua itu membuatnya arif, mampu menahan segala rasa yang menghunjam tatkala Syanda perlahan-lahan mulai berpaling darinya.
Hampir setahun.
Aditya menghela napas. Agaknya Syanda tidak menganggap dirinya sebagai bagian hidupnya lagi. Agaknya Syanda tidak ingat lagi kepadanya. Agaknya semua memang harus terkubur.
"Selamat sore, Aditya," sapa Romo Dirgo.
"Eh, Romo...."
"Tertarik pada puisi?"
"Eh, ti-tidak. Kebetulan penulisnya adalah...."
"Gadismu?" terka Romo Dirgo.
"Romo tahu? Ah, dia bukan lagi milik saya...." kilah Aditya dengan mata masih menyimpan harap.
Romo Dirgo mengangguk bijak. "Berapa kali Romo bilang, Aditya. Kita ini hanya anak wayang. Apapun yang terjadi merupakan kehendak Ki Dalang. Dan kamu tahu, siapa Dalang kita?"
Aditya mengangguk. Kepalanya menengadah ke atas. Dilihatnya matahari mulai terbenam di sisi barat. Tenggelam membawa impiannya selama ini. Dibacanya bait demi bait puisi Syanda sekali lagi, tapi tidak ditemukannya apa-apa. Dia memang tidak mengerti apa pun tentang puisi. Bahkan puisi yang ditulis Syanda sekalipun.
Baginya, sikap Syanda selama ini merupakan ultimatum putusnya hubungan mereka. Mengapa kamu tidak berterus terang kepadaku, Syanda? Sejak dulu masih kusimpan segalanya. Tapi hari ini, malam terakhir di panti rehabilitasi ini, malam kebebasanku, kamu tetap tidak datang. Tidak juga kabarmu. Kita telah begitu jauh, dan aku si tolol ini masih menyimpan segala kenangan yang kita rajut bersama dulu.
"Saya telah mengerti, Romo."
"Bagus."
"Saya telah mantap. Terima kasih untuk segalanya, Romo."
"Bukan saya, tapi Dia yang di atas sana." Romo Dirgo menunjuk ke langit.
Dan sekali lagi Aditya melihat matahari bergerak kemerahan, dan sosok Syanda sekilas melintas. Seperti melambai. Lantas ikut tenggelam bersama matahari. Ke ujung barat. Ujung tanpa batas. Ujung yang entah di mana. Ujung yang tidak pernah dapat terkejar.

***
"Suaramukah itu, Syan?!" seru Sonya seperti menemukan kembali sahabatnya yang hilang.
"Ya, ya...." Syanda tertawa tertahan.
"Ya Allah, kupikir kamu telah...."
"Kamu pikir aku bunuh diri, ya? Karena kebingungan, begitu?"
"Bukan itu saja. Aku pikir kamu lebih daripada itu...."
"Apa itu?"
"Aku pikir, kamu adalah hantu yang mengabariku via HP-ku. Hahaha...."
"Ah, ada-ada saja kamu ini, Son."
"Hahaha. Tapi, aku cukup surprais juga waktu membaca namamu pada sebuah majalah."
"Puisiku?"
"Ya. Bahkan majalah itu sempat kuberikan kepada... maaf, kamu jangan marah ya?" Suara Sonya Melemah.
Syanda merapatkan ponsel ke telinganya. "Aditya...?" terkanya yakin dengan suara pelan sebelum Sonya menuntaskan kalimatnya.
"Ya."
Syanda menghela napas. Satu tahun memang bukan waktu yang sebentar. Tiga ratus enam puluh hari lebih telah ditinggalkannya semua yang pernah jadi bagian dari hidupnya hanya sekadar untuk membuktikan, siapakah sebenarnya yang paling memaksanya untuk segera pulang serta siapa yang paling dirindukannya!
Dan sekarang semua telah terjawab. Untuk siapa dia pergi dan untuk siapa dia pulang kini....
"Kamu masih di sana, Syan?" tegur Sonya.
"Ya, ya. Apa kabarnya Aditya?"
"Baik."
"Aku pun telah mengiriminya sms. Barusan."
"Bagus itu. Kamu tahu, belakangan ini Aditya mulai sering menulis dan juga ditulis...."
"Maksudmu? Menulis puisi seperti aku? Ah, sejak kapan Aditya mengerti soal seni?" seru Syanda tidak percaya.
"Bukan puisi, tapi... ah, aku pun tidak mengerti apa namanya. Tapi yang jelas, Aditya banyak membantu sebuah majalah rohani dalam rubrik tanya jawab. Semacam konsultasilah. Dia juga mengasuh sebuah kolom di majalah tersebut yang menyerukan anti-drugs!"
"Oya?"
"Ya. Dan dia juga banyak ditulis di media massa. Semua mata mulai terbuka bahwa sebetulnya Aditya dulu tidak bersalah. Dia hanya korban drugs semata."
Syanda tertegun. Inikah jawaban Tuhan atas doanya selama ini? Inikah jawaban dari segala penantian dan kesetiaannya? Rasa-rasanya ingin segera dikejarnya kereta api di Stasiun Solobalapan dan berangkat kembali ke Jakarta. Berkumpul kembali di tengah orang-orang yang ditinggalkannya. Mama, Papa, Santi, Sonya, Ivan, dan... Aditya! Semuanya terasa berakhir dengan begitu manis.
"Syanda, kapan kamu kembali?"
"Besok sore."
"Beri kepastian, Syan. Aku akan menjemputmu di Stasiun Gambir."
"Thank's. Oya, sebelum lupa, bagaimana kabar Mama dan Santi?" tanya Syanda.
"Astaga! Jadi kamu bahkan belum pernah sekali pun mengabari mereka? Kamu keterlaluan, Syan! Putri durhaka!" Sonya tergelak. "Terkutuklah kamu!"
"Aku ingin kepulanganku menjadi sebuah kejutan. Untuk semuanya, kecuali kamu karena aku tahu kamu jantungan." Syanda mengolok, lalu ikut tergelak.
"Mulai lagi, nih!"
"Oke, besok sore aku kembali. Jemput, ya? Salamku untuk Aditya... eh, jangan! Jangan bilang siapa-siapa, ya?"
"Ehem...." Di seberang sana Sonya sengaja berdeham.
"Janji, ya?"
"Iya, iya. Eh, hati-hati ya, Non. Besok kujemput kamu."
"Thank's ya, Son. Bye."
Bip.
Syanda menutup HP-nya. Ditinggalkannya travel kecil samping pondokannya di daerah Makam Haji dengan dada lapang sembari mengipas-ngipaskan badannya dengan tiket kereta apinya. Sesaat ditatapnya langit biru, lalu gugusan rumah sederhana dengan atap genteng khas penduduk Kota Solo. Kurang lebih setahun diakrabinya semuanya dalam masa permenungannya. Menyepi, menggali makna hidup ini. Dan keramahan kota kecil di belahan tengah Pulau Jawa itu telah membantu menjernihkan pikirannya. Menenteramkan hatinya yang dilanda kegalauan. Membantunya menentukan siapa yang pantas mendampingi hidupnya kelak.
Cerita Sonya telah membuncahkan kebahagiaan di hatinya. Inilah akhir cerita lara yang dirangkainya bersama Aditya. Dia akan minta maaf kepada Aditya atas keraguannya selama ini. Dan semua orang akan minta maaf kepada Aditya. Atas tuduhan mereka yang tidak benar sama sekali tentang Aditya yang terlibat dalam penggunaan narkoba.
Senyum Syanda mengembang. Semuanya bakal menjadi pelangi.

Kamu tidak keberatan walau Mamamu tidak menyukaiku?" tanya Aditya.
"Tidak."
"Juga walau aku tidak dapat mengajakmu dinner ke resto-resto mewah seperti yang lain?"
"Tidak."
"Juga walau aku hanya mempunyai motor trail butut dan bukan sedan seperti...."
"Sstt... sudahlah. Aku menyukaimu karena kamulah satu-satunya...."
"Tapi, sungguh. Aku tidak punya apa-apa...."
"Ah, gombal!"
"Kamu cinta kepadaku, Syan?"
"Ah, kenapa harus gunakan kata-kata usang itu?"
"Kenapa? Eh, kenapa ya?"
 
Syanda mengerjapkan matanya. Pluit panjang berbunyi mengakhiri lamunannya. Membuyarkan masa-masa indahnya semasih bersama Aditya di setiap malam Minggu. Masa-masa dimana dia masih bimbang mengungkapkan kata-kata cinta untuk Aditya. Namun kini dia tahu, sebenarnya yang membuatnya enggan mengatakan cinta bukan karena ragu tapi lantaran dia sudah terlampau yakin. Kata itu tidak lagi diperlukan. Semua sikap Aditya dan sikapnya telah mencerminkan cinta itu sendiri. Tanpa suara, tanpa kata-kata!
Deru kereta makin menggema saat memasuki stasiun. Syanda bersiap, matanya mencari-cari lewat jendela. Apakah Sonya betul menjemputnya atau malah lupa?
"Syanda!"
Syanda tersentak. Menoleh ke arah kanan, nyaris terpeleset dari tangga kereta. Dilihatnya Santi berlari ke arahnya. Saat itu juga kopernya terlepas dari pegangannya. Disambutnya Santi. Disambutnya udara kota kelahirannya. Disambutnya segalanya.
"Syanda...!"
"Santi... apa kabar?"
"Baik. Kamu sendiri?"
"Seperti yang kamu lihat." Syanda mengerjapkan matanya menahan tangis haru. "Aku baik-baik saja. Dan kurasa apa yang akan kutemui di sini akan membuatku merasa semakin baik."
Santi menatap kakaknya dengan mata berkaca-kaca. Dalam dirinya terbersit keinginan untuk menjadi wanita setegar kakaknya. Yang begitu mengagungkan kesetiaannya terhadap cinta pertamanya, hingga rela melakukan apa saja. Sekedar membuktikan bahwa dia memang hidup atas dasar dan untuk cinta suci.
"Kamu agak kurusan, Syan."
"Ya. Dan kamu pun nampak seperti gadis... hm, maksudku seperti bidadari yang turun lewat titian pelangi, dan baru selesai mandi di sungai. Kamu tambah dewasa dan cantik, Santi."
"Dan aku sendiri bidadari yang membawa kabar gembira ini kepada Santi dan pada Mamamu!" Tiba-tiba saja Sonya sudah berada di tengah mereka.
"Sonya...!" Syanda memeluk sahabatnya.
"Selamat datang kembali, Syanda Manis-ku!" balas Sonya.
"Terima kasih."
"Mari kubantu." Sonya membantu mengangkat beberapa travelling bag Syanda. Beriringan mereka berjalan meninggalkan stasiun yang mulai ramai lagi oleh suara pluit. Kereta datang silih berganti, sama halnya dengan kehidupan manusia, suka dan duka silih berganti. Berputar bagai roda pedati.
"Satu tahun rasanya seperti berabad-abad," kenang Syanda sumringah.
"Apa saja yang kamu lakukan di sana?" tanya Santi.
"Aku? Apa, ya? Merenung, menulis puisi, bekerja sebagai pramuniaga untuk membayar pondokan dan makan. Itu saja."
"Kamu hebat," puji Santi lugas.
"Ah, tidak," Syanda tertegun. "Tapi, kalau kamu katakan aku berjuang, rasanya memang iya. Dan sekarang perjuanganku telah berhasil."
"Jangan membuat puisi di jalanan, Syan," kelakar Sonya.
Mereka tertawa bareng.
"Oya, Mama tidak ikut?"
"Jaga rumah. Katanya, supaya kalau pingsan tidak ngerepotin," gurau Santi.
"Oh, aku sudah kangen banget sama Mamaku, Son. Eh, apakah kamu sudah memberitahu Aditya?"
Sesaat hening. Tiba-tiba saja terasa kebekuan di antara tawa hangat mereka. Ada sesuatu yang janggal. Sesuatu yang sumbang tatkala Sonya mencoba tersenyum dan bergurau.
"Aditya sudah tidak di panti rehabilitasi
Nusa Bangsa' lagi, Syan...," ujar Sonya ragu.
"Oya? Di mana dia sekarang?" Syanda nyaris melonjak kegirangan.
"Kamu tidak tahu?"
"Dari mana aku tahu? Kami tidak pernah sms-an lagi...."
"Dan mungkin juga sudah ganti nomor," sela Santi menimbrung.
" Ada apa sebenarnya?" Syanda mengernyitkan dahinya.
"Tidak ada apa-apa." Sonya menggeleng. "Harusnya kamu gembira Aditya sudah tidak lagi berada di panti rehabilitasi itu. Juga karena nama dan reputasi Aditya kini telah bersih. Tidak seorang pun lagi yang dapat menuding dan menuduhnya sebagai berandalan."
Syanda tercenung. Ya, semestinya dia gembira. Tapi dalam suasana haru seperti ini, perasaannya berkata lain. Ada sesuatu yang disembunyikan Sonya. Dan sesuatu itu agaknya tidak menyenangkan. Tentang Aditya. Ya, Aditya-nya....

***
Dengan hati berbunga-bunga Syanda menapaki anak tangga serba putih yang mengantarkannya ke gerbang gereja. Dia tahu, sejak dulu, Aditya yang suka begadang itu adalah juga Aditya yang rajin ke gereja lengkap dengan alkitab dan madah baktinya. Kemarin dia surprais menerima sms dari Aditya. Mengundangnya bertemu di gereja Katolik tua ini.
Setengah enam sore. Misa tengah berlangsung. Syanda mengambil tempat agak di belakang. Ditundukkannya kepalanya dan mulai berdoa. Menunggu penuh harap bahwa akan datang seseorang menegurnya, duduk di sebelahnya seperti janji yang tertulis dalam layar ponselnya malam tadi. Bahwa Aditya mengajaknya bertemu di gereja ini.
Sementara itu frater di atas mimbar terus membacakan firman Tuhan, dan menginterpretasikannya sehingga manusia lebih mudah mengamalkannya di dunia ini. Namun pikiran Syanda tidak terpusat pada kotbah di atas mimbar.
"Aditya...!" desisnya sewaktu dilihatnya bahu bidang berkemeja kotak-kotak, berambut klimis. Agak kurusan memang, tapi dia kenal betul. Dicondongkannya tubuhnya agak ke muka untuk menyentuh bahu berkemeja kotak-kotak itu.
"Dit...!" panggilnya pelan.
Perlahan pemuda itu menoleh. Gadis di sebelahnya pun ikut menoleh. Sesaat Syanda terkesiap. Ditutupnya bibirnya dengan jemarinya.
"Anda memanggil saya?"
"Eh, ma-maaf. Saya pikir Anda Aditya, teman lama saya. Dari belakang tadi Anda tampak mirip dengan teman saya itu." Syanda gelagapan malu. Apalagi gadis di sebelah cowok itu barusan memandangnya dengan tatapan tidak senang.
"Maaf, ya?" ujar Syanda sekali lagi. Kali ini maksudnya pada cewek bermata gundu itu. "Saya mengganggu konsentrasi Anda." Syanda mundur, dan kembali menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.
"Tidak apa," balas cowok itu, lalu mengurai senyum tipis.
Bukan Aditya. Lantas, di mana Aditya-nya? Bukankah pesan sms kemarin Aditya menulis akan menemuinya di gereja ini? Syanda menatap sekelilingnya sekali lagi, dan dia yakin Aditya tidak pernah berbohong. Karena itu dia berusaha bersabar beberapa saat lagi sambil mendengar kotbah frater.
"... sebab itu hendaklah kita memperlakukan sesama kita seperti orang yang paling kita kasihi, seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Sebab segala yang kita miliki saat ini; harta, harkat, martabat; datangnya dari Yang Di Atas Sana, dan suatu saat akan kembali juga ke asalnya. Hidup adalah ujian sebelum masuk dalam kerajaan-Nya yang kekal. Amin."
Umat menyambut usainya kotbah frater dengan koor panjang. "Sekarang dan selamanya...."
Bibir Syanda ikut bergerak mengucapkan kalimat itu, namun dalam benaknya hadir sejuta tanya. Tentang suara si Pengkotbah tadi. Ah, seperti begitu diakrabinya pada suatu masa dulu. Syanda menatap tanpa berkedip ke arah mimbar.
"Aditya...!" desisnya.
Tidak dipedulikannya beberapa pasang mata yang menatap heran waktu dia melangkah. Pindah ke deretan kursi terdepan. Sekedar untuk memastikan bahwa pemuda yang dilihatnya memang Aditya!
"A-Aditya... kamukah itu?" tanyanya perlahan sewaktu frater melintas di hadapannya.
Pemuda berjubah panjang serba putih itu menghentikan langkahnya. Menatap Syanda dengan tatapan setenang air telaga. Ah, mata itu bukan lagi mata yang penuh dengan ambisi. Mata itu telah berubah, namun tidak bisa membohongi Syanda bahwa inilah pemuda yang dicarinya. Inilah pemuda yang memaksa hatinya kembali dari tempat pengasingannya.
"Syanda?" Kening frater berkerut.
"A-Aditya... ka-kamu benar, Aditya?!"
"Ikut saya seusai misa," ujar frater

Mata sayu itu membasah seperti dua air sungai yang mengalir deras. Syanda menangis tanpa suara sewaktu Aditya menceritakan segalanya di ruang pastori, di belakang mimbar gereja. Dan semuanya lantak bagai keping beling ketika disadarinya Aditya kini telah sedemikian jauh tidak mampu lagi tergapai tangan.
"Waktu itu, Romo Dirgo, pastor di panti rehabilitasi melihat aku tidak seperti penghuni lain. Pada saat itu aku stres berat. Aku bimbang. Aku juga meragukan kesetiaanmu. Apalagi, selama sekian lama aku tidak pernah menerima kabar darimu lagi," papar Aditya. "Dan semua itu membuatku semakin dekat dengan Romo Dirgo dan juga kepada-Nya."
"Aku tahu kamu rajin ke gereja, Dit. Aku tahu.... ta-tapi, apakah semua ini tidak bisa dibatalkan? Apakah kita tidak bisa kembali seperti dulu lagi? Seperti setahun yang lalu?!"
Aditya menggeleng-geleng. "Aku sudah merasa damai dengan pilihanku, Syan. Tanyakanlah kepada dirimu sendiri, Syan! Apakah kamu juga bisa kembali menjadi Syanda yang dulu?! Yang hanya punya satu kekasih dalam hidupnya?"
Syanda mengernyitkan alisnya. "Ka-kamu tahu soal Ivan juga?!" tanyanya tidak percaya.
Adiya menggeleng. "Tidak. Tidak satu pun kabar luar tentangmu yang kudengar. Tapi aku yakin dan percaya, ketidakhadiranmu menjengukku merupakan pertanda bahwa aku bukan lagi satu-satunya yang ada di hatimu."
Syanda tertunduk. "Ta-tapi....."
"Karena itu, Syan, kutempuh jalan ini." Aditya bangkit dari kursinya, melangkah ke jendela. "Karena aku tidak bisa memberi hatiku pada gadis lain seperti kamu membagi hatimu pada pemuda lain. Akhirnya, kuputuskan untuk memberikan segala cinta yang ada pada yang paling berhak. Dia yang ada di atas sana !"
"Ja-jadi, ka-kamu menganggap semua salahku?!" Mata Syanda memerah. Digigitnya bibirnya keras-keras. Kerongkongannya terasa perih.
"Siapa bilang begitu?" kilah Aditya dengan suara sabar.
"Tapi....."
"Semua ini bukan salah siapa-siapa."
"Ta-tapi....."
"Mungkin semua ini sudah menjadi kehendak-Nya."
Syanda memintas dengan rupa nelangsa. Ditatapnya nanar sepasang mata teduh di hadapannya.
"Dit, aku mengasingkan diri selama kurang lebih setahun. Hanya untuk memastikan bahwa di hatiku cuma ada kamu! Tapi, apa yang kuperoleh kini?! Di mana keadilan Tuhan yang kamu agung-agungkan itu?!" tuntutnya, menelan ludahnya dengan susah payah. "Adilkah apa yang kudapatkan?! Penantian, kesetiaan, pembuktian yang kuberikan kepadamu. Oh, Tuhan!" Ditutupnya wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya.
"Syanda....."
"Aku telah kehilangan segalanya! Segalanya!" jerit Syanda dengan suara serak. "Di saat aku merasa mantap untuk memperoleh segalanya. Segalanya!".
Aditya tersenyum bijak. Dipandanginya lekat-lekat wajah kuyu gadisnya dulu itu. Ditatapnya sepasang mata beningnya. Seolah berusaha bicara dari hati ke hati, menenangkannya yang bermuram dalam ketidakrelaannya melepas sosokya yang kini tak terjamah.
"Syan, dengarlah," pintanya lembut. Disentuhya bahu Syanda dari arah belakang. "Kamu tidak kehilangan apa pun. Cinta kita masih ada. Berada di tempat yang paling abadi. Cinta kita telah kukirim kepada Tuhan. Biarlah Dia saja yang menyimpannya. Cintaku kepadamu kutukar dengan cintaku untuk semua umat. Untuk sesama. Karena kini aku tidak hanya milikmu, tapi milik umat gerejaku. Kamu mau mengerti, kan ?"
"Ak-aku....." Syanda tergagap. "Ta-tapi....."
"Tuhan pasti memberkati cinta kita, Syanda."
"Ja-jadi.... cinta kita masih ada?" Mata Syanda mengerjap, menatap penuh harap ke arah Aditya. Dan sekali anggukan kecil Aditya membuatnya yakin.
"Cinta kita abadi, Syan. Yakinlah itu. Sebab, aku yakin cinta kita tidak berlandaskan pamrih."
"Cin-cinta kita masih ada?! Di tempat yang lebih kekal di atas sana?!" tanya Syanda seolah bergumam. Tubuhnya mengejang.
"Ya," angguk Aditya bijak.
"Ak-aku mencintaimu, Dit! Lebih dari yang kamu bayangkan. Bahkan, lebih dari yang pernah terpikir olehku sendiri. Tahukah kamu?!"
"Aku tahu, aku tahu." Aditya menepuk-nepuk bahu gadis yang pernah diakrabi dan dikasihinya itu.
Syanda sesenggukan. Hatinya pedih. Sesaat dia merasa nasib seolah mempermainkannya. Sewaktu dia memiliki segalanya, dia bimbang dan ragu atas apa yang dimilikinya. Tapi setelah dia berhasil meyakinkan diri bahwa dia memang pantas memiliki Aditya dan cintanya, justru kenyataan membawanya pada babak baru dalam kisah kehidupannya. Aditya semakin menjauh, direntang oleh jalan suci yang ditempuhnya. Hidup berselibat dalam pengabdian kepada Tuhan dan sesama. Dan dia harus menerima kenyataan itu.
"Aku mencintaimu, Dit! Sampai kapan pun juga.... selamanya!" desis Syanda dengan mata sembap. Diraihnya tangan Aditya. Digenggamnya erat-erat.
Aditya kembali mengangguk dengan sinar bijak. "Terima kasih untuk ketulusan cintamu, Syan."
"Selamat tinggal, Frater!"
Syanda melepaskan genggaman tangannya. Dengan masih berlinang airmata ditinggalkannya ruang pastori dengan hati pedih.
Memang, ada saatnya cinta itu tidak mesti bersatu. Mungkin inilah cinta yang sesungguhnya. Untuk saat ini rasanya dia belum sanggup menerima dengan hati tabah. Mungkin suatu saat dia dapat memafhumi.
Entah kapan.

***
Dua Tahun Kemudian
Kekecewaan yang pernah dirasakannya perlahan memudar dari hari-harinya. Pengalaman pahit membentuknya menjadi gadis yang tegar dan tabah. Syanda telah menemukan kembali dunianya yang hilang. Dunia yang penuh dengan warna. Meski dia belum dapat sepenuhnya melupakan cinta pertamanya, namun dia tidak lagi terkungkung dalam romantisme masa lalunya yang menyakitkan.
Sekarang dia menyibukkan dirinya dalam kegiatannya yang seabrek. Menjadi penulis freelance di majalah-majalah remaja, copy-writer, dan penyiar radio. Kuliahnya pun sudah hampir rampung. Mungkin setahun lagi dia sudah dapat menyandang predikat psikiater. Suatu kebanggaan yang tidak dapat dilukiskannya dengan kata-kata.
"Selamat siang, Syanda?"
"Eh, selamat siang, Frater."
Frater Aditya tiba-tiba sudah berdiri di bawah bingkai pintu ruang sekretariat pemuda gereja. Suaranya yang khas melantun lembut. Menggugah keterdiaman Syanda yang entah sudah berapa lama mematung dalam lamunannya. Syanda kikuk. Dia berusaha menyembunyikan tingkahnya akibat melamun terlampau jauh ke belahan silam. Mudah-mudahan Frater Aditya tidak menyadarinya, batinnya jengah. Dia kemudian berdiri dari duduknya di belakang meja kerjanya.
"Bagaimana dengan buletin edisi depan kita?"
"Hm, sudah siap naik cetak, Frater. Mungkin minggu depan beredar," jawab Syanda santun, lalu kembali duduk di kursinya.
Sebagai seorang penulis remaja, Syanda dipercayakan mengasuh sebuah terbitan rohani. Dan pekerjaan mulianya itu telah mempertemukannya kembali dengan Aditya, cinta pertamanya. Namun kini, Syanda sadar bahwa inilah sesungguhnya cinta sejati. Cinta yang universal, cinta yang tak dibatasi oleh waktu dan jarak.
Cinta untuk sesama.
"Selamat siang, Frater!" sebait suara melantun dari arah bingkai pintu.
"Siang, siang," jawab Frater Aditya. "Masuk. Mari masuk. Ada yang bisa saya bantu?"
Seorang pemuda tampan membungkukkan badannya menghormat.
"Maaf, mengganggu. Saya ingin bertemu dengan Syandarini Aprilia Joshepine Munaf."
Syanda mengangkat wajahnya dari monitor komputer ke arah suara lembut tersebut. Dan dia terpana seperti patung.
"I-Ivan!" serunya dengan mata terbelalak. "Ivan Prasetyo?!"
Pemuda bernama Ivan itu tersenyum manis. "Hai, apa kabar Syanda?"
"Kalian sudah saling kenal, ya?" ujar Frater Aditya sembari melangkah keluar dari ruang sekretariat. "Kalau begitu, saya pamit keluar dulu, ya?"
Syanda berdiri, berlari dan memeluk tubuh lampai Ivan. Dipereratnya pelukannya dengan pipi membasah. Dia menangis bahagia.
"Aku tidak ingin kehilangan kamu lagi, Syan!" bisik Ivan lembut. "Aku rindu kamu....."
Syanda tidak dapat bicara apa-apa lagi. Tangisnya menderas.
"Maafkan aku, Syan. Aku tidak dapat membohongi perasaanku lagi. Apa pun yang terjadi, aku harus mencarimu. Aku...."
"Aku mencintaimu, Van!"
Di luar ruang sekretariat, Sonya dan Santi tersenyum penuh arti. Mereka semua bahagia dapat mempertemukan Syanda dengan cinta sejatinya!