Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Senin, 09 Mei 2011

kasih sepanjang jalan


KASIH SEPANJANG JALAN
.
Di stasiun kereta api bawah tanah Tokyo, aku merapatkan mantel wol tebalku erat-erat. Pukul 5 pagi. Musim dingin yang . Udara terasa beku mengigit. Januari ini memang terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Di luar salju turun dengan sejak kemarin. Tokyo tahun ini terselimuti salju tebal, memutihkan segenap .
.
Stasiun yang selalu ramai ini agak sepi hari pagi. Ada seorang kakek tua di ujung kursi, melenggut menahan kantuk. Aku melangkah perlahan ke arah mesin minuman. Sesaat setelah sekeping uang logam aku masukkan, sekaleng capucino berpindah ke tanganku. Kopi itu sejenak menghangatkan tubuhku, tapi tak lama ketika tanganku menyentuh kartu pos di saku mantel, kembali aku berdebar.
.
Tiga hari yang lalu kartu pos ini tiba di apartemenku. Tidak banyak beritanya, hanya sebuah singkat yang dikirim , “Ibu sakit keras dan ingin sekali bertemu . Kalau tidak ingin menyesal, meski sebentar, ”. Aku mengeluh perlahan membuang sesal yang bertumpuk di dada. Kartu pos ini dikirim Asih setelah beberapa kali ia menelponku tapi aku tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin ia bosan, hingga akhirnya hanya kartu ini yang dikirimnya. Ah, waktu seperti bergerak lamban, aku ingin segera tiba di rumah, tiba-tiba rinduku pada ibu tak tertahan. Tuhan, beri aku waktu, aku tak ingin menyesali
Sebenarnya aku sendiri tak punya waktu untuk pulang. Kesibukanku bekerja di sebuah perusahaan swasta di kawasan Yokohama, ditambah lagi mengurus dua puteri remajaku, membuat aku seperti tenggelam dalam kesibukan di negeri sakura ini. Inipun aku pulang setelah kemarin menyelesaikan sedikit urusan pekerjaan di Tokyo. Lagi-lagi urusan pekerjaan.
Sudah hampir dua puluh tahun aku menetap di Jepang. Tepatnya sejak aku menikah dengan Emura, pria Jepang yang aku kenal di Yogyakarta, kota kelahiranku. Pada saat itu Emura sendiri memang sedang di Yogya dalam rangka urusan kerjanya. Setahun setelah perkenalan itu, kami menikah.
Masih tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi murung ketika aku mengungkapkan rencana pernikahan itu. Ibu meragukan kebahagiaanku kelak menikah dengan pria asing ini. Karena tentu saja begitu banyak perbedaan budaya yang ada diantara kami, dan tentu saja ibu sedih aku harus berpisah dengan keluarga untuk mengikuti Emura. Saat itu aku berkeras dan tak terlalu menggubris kekhawatiran ibu.
Pada akhirnya memang benar kata ibu, tidak mudah menjadi istri orang asing. Di awal pernikahan begitu banyak pengorbanan yang harus aku keluarkan dalam rangka adaptasi, demi keutuhan rumah tangga. Hampir saja biduk rumah tangga tak bisa kami pertahankan. Ketika semua hampir karam, Ibu banyak membantu kami dengan nasehat-nasehatnya. Akhirnya kami memang bisa sejalan. Emura juga pada dasarnya baik dan penyayang, tidak banyak tuntutan.
Namun ada satu kecemasan ibu yang tak terelakkan, perpisahan. Sejak menikah aku mengikuti Emura ke negaranya. Aku sendiri memang sangat kesepian diawal masa jauh dari keluarga, terutama ibu, tapi kesibukan mengurus rumah tangga mengalihkan perasaanku. Ketika anak-anak beranjak remaja, aku juga mulai bekerja untuk membunuh waktu.
Aku tersentak ketika mendengar pemberitahuan kereta Narita Expres yang aku tunggu akan segera tiba. Waktu seperti terus memburu, sementara dingin semakin membuatku menggigil. Sesaat setelah melompat ke dalam kereta aku bernafas lega. Udara dalam kereta mencairkan sedikit kedinginanku. Tidak semua kursi terisi di kereta ini dan hampir semua penumpang terlihat tidur. Setelah menemukan nomor kursi dan melonggarkan ikatan syal tebal yang melilit di leher, aku merebahkan tubuh yang penat dan berharap bisa tidur sejenak seperti mereka. Tapi ternyata tidak, kenangan masa lalu yang terputus tadi mendadak kembali berputar dalam ingatanku.
Ibu..ya betapa kusadari kini sudah hampir empat tahun aku tak bertemu dengannya. Di tengah kesibukan, waktu terasa cepat sekali berputar. Terakhir ketika aku pulang menemani puteriku, Rikako dan Yuka, liburan musim panas. Hanya dua minggu di sana, itupun aku disibukkan dengan urusan kantor yang cabangnya ada di Jakarta. Selama ini aku pikir ibu cukup bahagia dengan uang kiriman ku yang teratur setiap bulan. Selama ini aku pikir materi cukup untuk menggantikan semuanya. Mendadak mataku terasa panas, ada perih yang menyesakkan dadaku. “Aku pulang bu, maafkan keteledoranku selama ini” bisikku perlahan.
Cahaya matahari pagi meremang. Kereta api yang melesat cepat seperti peluru ini terasa lamban untukku. Betapa jauh jarak yang terentang. Aku menatap ke luar. Salju yang saja turun menghalangi pandanganku. Tumpukan salju memutihkan segenap penjuru. Tiba-tiba aku teringat Yuka puteri sulungku yang duduk di bangku SMA kelas dua. Bisa dikatakan ia tak berbeda dengan remaja lainnya di Jepang ini. Meski tak terjerumus sepenuhnya pada kehidupan bebas remaja kota besar, tapi Yuka sangat ekspresif dan semaunya. Tak jarang kami berbeda pendapat tentang banyak hal, tentang norma-norma pergaulan atau bagaimana sopan santun terhadap orang tua.
Aku sering protes kalau Yuka pergi lama dengan teman-temannya tanpa idzin padaku atau papanya. Karena aku dibuat menderita dan gelisah tak karuan dibuatnya. Terus terang kehidupan remaja Jepang yang kian bebas membuatku khawatir sekali. Tapi menurut Yuka hal itu biasa, pamit atau selalu lapor padaku dimana dia berada, menurutnya membuat ia stres saja. Ia ingin aku mempercayainya dan memberikan kebebasan padanya. Menurutnya ia akan menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Untuk menghindari pertengkaran semakin , aku mengalah meski akhirnya sering memendam gelisah.
Riko juga begitu, sering ia tak menggubris nasehatku, asyik dengan urusan sekolah dan teman-temannya. Papanya tak banyak komentar. Dia sempat bilang mungkin itu kesalahanku juga yang kurang menyediakan waktu buat mereka kesibukan bekerja. Mereka jadi seperti tidak membutuhkan mamanya. Tapi aku berdalih justru aku bekerja sepi di rumah akibat anak-anak yang berangkat dewasa dan jarang di rumah. Dulupun aku bekerja ketika si bungsu Riko telah menamatkan SD nya. Namun memang dalam hati ku akui, aku kurang bisa membagi waktu antara kerja dan keluarga.
Melihat anak-anak yang cenderung semaunya, aku frustasi juga, tapi akhirnya aku alihkan dengan semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan kerja. Aku jadi teringat masa remajaku. Betapa ku ingat kini, diantara ke lima anak ibu, hanya aku yang paling sering tidak mengikuti anjurannya. Aku menyesal. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana perasaan ibu ketika aku mengabaikan kata-katanya, tentu sama dengan sedih yang aku rasakan ketika Yuka jatau Riko juga sering mengabaikanku. Sekarang aku menyadari dan menyesali semuanya. Tentu sikap kedua puteri ku adalah peringatan yang Allah berikan atas keteledoranku dimasa lalu. Aku ingin mencium tangan ibu….
Di luar salju semakin tebal, semakin aku tak bisa melihat , semua menjadi kabur tersaput butiran salju yang putih. Juga semakin kabur oleh rinai air mataku. Tergambar lagi dalam benakku, saat setiap sore ibu mengingatkan kami kalau tidak pergi mengaji ke surau. Ibu sendiri sangat taat beribadah. Melihat ibu khusu’ tahajud di tengah malam atau berkali-kali mengkhatamkan alqur’an adalah biasa buatku. Ah..teringat ibu semakin tak tahan aku menanggung rindu. Entah sudah berapa kali kutengok arloji dipergelangan tangan.
Akhirnya setelah menyelesaikan semua urusan boarding-pass di bandara Narita, aku harus bersabar lagi di pesawat. Tujuh jam perjalanan bukan waktu yang sebentar buat yang sedang memburu waktu seperti aku. Senyum ibu seperti terus mengikutiku. Syukurlah, Window-seat, no smoking area, membuat aku sedikit bernafas lega, paling tidak untuk menutupi kegelisahanku pada penumpang lain dan untuk berdzikir menghapus sesak yang memenuhi dada. Melayang-layang di atas samudera fasifik sambil berdzikir memohon ampunan-Nya membuat aku sedikit tenang. Gumpalan awan putih di luar seperti gumpalan-gumpalan rindu pada ibu.
Yogya belum banyak berubah. Semuanya seperti dulu ketika terakhir aku meninggalkannya. Kembali ke Yogya seperti kembali ke masa lalu. Kota ini memendam semua kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu selalu aku lalui, seperti menarikku ke masa-masa silam itu. Kota ini telah membesarkanku, maka tak terbilang banyaknya kenangan didalamnya. Terutama kenangan-kenangan manis bersama ibu yang selalu mewarnai semua hari-hariku. Teringat itu, semakin tak sabar aku untuk bertemu ibu.
Rumah berhalaman besar itu seperti tidak lapuk dimakan waktu, rasanya seperti ketika aku kecil dan berlari-lari diantara tanaman-tanaman itu, tentu selama ini ibu rajin merawatnya. Namun ada satu yang berubah, ibu…
Wajah ibu teduh dan bijak seperti dulu, meski usia telah senja tapi ibu tidak terlihat tua, hanya saja ibu terbaring lemah tidak berdaya, tidak sesegar biasanya. Aku berlutut disisi pembaringannya, “Ibu…Rini datang, bu..”, gemetar bibirku memanggilnya. Ku raih tangan ibu perlahan dan mendekapnya didadaku. Ketika kucium tangannya, butiran air mataku membasahinya. Perlahan mata ibu terbuka dan senyum ibu, senyum yang aku rindu itu, mengukir di wajahnya. Setelah itu entah berapa lama kami berpelukan melepas rindu. Ibu mengusap rambutku, pipinya basah oleh air mata. Dari matanya aku tahu ibu juga menyimpan derita yang sama, rindu pada anaknya yang telah sekian lama tidak berjumpa. “Maafkan Rini, Bu..” ucapku berkali-kali, betapa kini aku menyadari semua kekeliruanku selama ini

Sabtu, 11 Desember 2010


Bagai Sebuah Kaca


Semilir angin malam berhembus menembus ventilasi kamarku, aku termangu duduk seorang diri di atas tempat tidur yang menjadi teman setiaku. Perlahan tapi pasti, detik jam itu berputar meninggalkan waktu lalu, yang kian membelengguku dengan kenangan. Sebuah kenangan manis masih bertengger indah dalam ingatanku yang terluar, tentang kisah persahabatan.
Duduk di bangku SMA mungkin memang satu hal yang sangat berkesan dalam hidupku. Satu hal yang tak kan pernah luput dari ingatanku.
Berkenalan dengan Raya mungkin memang suatu kebetulan dalam hidupku, yang menjadi kebanggaanku kini, aku masih bisa berada di dekatnya, walaupun antara aku dan dia terasa bak dipisahkan tembok yang tebal. Aku dan dia tak pernah lagi sedekat yang dulu, walaupun aku dan dia dalam kondisi yang sangat berdekatan. Masih terbias kesedihan dalam hatiku, sungguh begitu menyayat dalam hidupku.
Ya. Aku akui, mungkin memang aku yang menjadikan semua ini seperti ini tapi tak pernah terbayangkan olehku justru antara aku dan dia kini sangat berjauhan, antara hatiku dan hatinya kini tak lagi sedekat dulu. Aku tak bisa seleluasa dulu saat bercerita segala hal padanya. Aku tahu, sering Raya ingin aku kembali seperti  aku yang dulu padanya, aku tak pernah bisa walau sering hal ini kucoba. Ada yang terluka dan sulit untuk kututupi lukanya.
Aaaahgg….!!! aku rindu kedekatanku dengannya. Aku rindu bersenda-gurau, bahkan aku rindu celoteh cerewetnya yang sebenarnya sangat membosankan tapi membangun semangatku. Raya, kenapa sih lubang di depanmu sangat dalam kini, aku jadi takut melangkah ke arahmu. Aku benar-benar merindukan kamu yang selama ini mengisi relung hatiku. Aku merindukan sahabat yang selalu menyemangatiku dan sahabat yang selalu bisa aku semangati. Raya…!!!
Dari sewaktu duduk di kelas 3 SMA aku sudah sangat dekat dengannya, tingkahnya yang anggun, bersahaja, sopan, rapi, rajin, pintar, berwawasan luas dan berwibawa selalu membuatku ingin menjadi sosoknya yang jadi kebanggaan.
Keramahannya, keikhlasannya, kebaikan hatinya benar-benar satu hal yang ingin kupelajari darinya. Keahliannya dalam mengemukakan pendapat serta hobinya membaca buku-buku tentang kejiwaan selalu membuatnya dapat memberikan solusi yang membangun bagi para sahabatnya. Aku bangga bersahabat dengannya. Terlebih saat aku dan dia bisa sama-sama berjuang masuk ke perguruan tinggi favorit kami. Banyak hal yang aku dan Raya lakukan bersama hingga akhirnya kami benar-benar duduk di bangku perguruan tinggi ini. Aku dan Raya melewati segala hal bersama, dalam sedihku, dalam bahagiaku, dalam sedihnya dan juga dalam bahagianya. Tak luput satu halpun kami bagi berdua. Menapaki langkah kehidupan bersama-sama. Ya, itulah yang selalu aku lakukan bersama Raya dulu.
Aku memandang sebuah bingkai foto berwarna biru di atas meja belajarku, itu fotoku dan Raya saat kami berdua mengikuti acara rekreasi perpisahan kelas 3 lalu. Dua gadis berjilbab putih duduk di atas sampan di sebuah danau yang cukup luas. Senyuman manis bertengger di wajah ceria mereka berdua.
Aku terus menatap sendu pada foto itu. Kerinduan itu kembali memuncak, aku mengalihkan tatapan ke arah sebelahnya, sebuah liontin berbentuk bintang bertengger di sangkutan dinding itu, aaahhg…!! Itu liontin yang ku beli bersama tanda lulus di sebuah universitas. Butir- butir bening itu tak mampu lagi kubendung di kantung mataku, aku membiarkan butiran itu jatuh satu per satu di pipiku.
Handphone genggam yang sedari tadi kubiarkan terbaring manis di atas tempat tidurku berseringai mendendangkan nada panggilan masuk. Aku menghapus butir air mata yang sempat membasahi pipiku. Seraya menarik nafas cukup dalam, kuraih handphone itu. Satu panggilan dari Raya, sebersit senyum singgah diwajahku.
‘’Hallo, Assalamualaikum.” Sapaku mengatur suaraku yang tadi sedikit tersendat.
‘’Walaikumsalam, Na..,”  jawab orang yang di seberang.
‘’Ada apa, Ya?,” tanyaku sedikit kaget menerima panggilan darinya.
‘’Na, Aya minta maaf ya. Aya tak bisa ke sana sesuai janji Aya ke Nara semalam” tuturnya sedikit merasa bersalah.
Ada kekecewaan di hatiku. Aku menghela nafas dan menutupi kekecewaanku. ‘’Oh begitu ya? Iya, tak apalah,” jawabku.
‘’Aya minta maaf banget ya, Na. Aya kira bisa pulang lebih awal dan langsung ke rumah Nara, tapi tadi Aji meminta Aya mampir ke rumahnya sepulang kampus ini. Aya tak bisa menolak permintaannya itu, maaf ya, Na!!,” tuturnya sedikit menjelaskan.
‘’Nara ngerti kok, Ya. Aji emang segalanya buat kamu, tak apa kok! Maaf Ya, Na mesti siapin kerjaan Na nih. Udah dulu ya, Assalamualaikum.” Tuturku mengakhiri pembicaraan tanpa menunggu jawaban salam darinya.
Aku kembali menatap gambar dalam bingkai foto biru yang bertengger manis di atas meja belajarku. Kekecewaan jelas memuncak di sanubariku. Raya yang dulu kukenal kini telah berubah. Aku benar-benar kecewa dengan perubahannya itu.
Dulu, Raya benar-benar lebih mementingkan aku atau teman-temannya yang lain dibandingkan pacarnya, tapi sejak 3 semester pertama perkuliahan dimulai, Raya benar-benar menyerahkan segala waktu dan tenaganya untuk Aji, pacarnya. Aku cukup kecewa dengan perubahan sikapnya. Segala waktu luangnya hanya diperuntukkannya untuk Aji. Sejak saat itu kedekatanku pada Raya semakin berkurang. Sebenarnya ini bukan masalah yang besar, aku tahu, setiap orang pasti ingin dicintai dan mencintai. Seperti halnya Raya.
Aaaahhhg…begitu egoisnya aku jika mengekangnya. Aku mencoba mengerti tentang dunia kehidupan saat ini. Tak jarang, aku pun juga remaja, dan suatu saat nanti aku juga akan mendapatkan apa yang ditemukan Raya pada Aji. Ya, mudah-mudahan saat hal itu terjadi padaku, aku bisa membagi waktuku dengan adil.
Akhirnya hari itu aku memutuskan untuk hadir dalam pertemuan itu seorang diri tanpa Raya, aku melewati taman yang biasa aku dan Raya datangi berdua, dan tak jarang kami datang bertiga; aku, Raya dan Tari. Aku memandang pilu pada bangku taman yang kosong tanpa penghuni itu.
Seakan pilu, aku berusaha kuat melalui bangku taman itu. Bayangan kebahagiaan yang terus menghantui pikiranku membuat aku meraba-raba jalan kehidupanku…***


Mungkinkah Ini Saat Terakhir

Tililit…. Tililit…. Tililit…. Tililit…. Tililit…. Tililit….Dengan malas Rona menggerakkan tangannya. Ia berusaha meraih handphone yang terletak di atas meja tepat di sebelah tempat tidur dengan mata masih terpejam.
 “Ha..lo …”, sahut Rona dengan perlahan setelah memencet salah satu tombol handphone.
 “Ya ampun Na! Lu baru bangun ya?” tanya Rara.
“Yaaaa, ada apa sih Ra?” sahut Rona dengan mata masih mengantuk.
“Tumben banget lu kesiangan? Emang semalam lu begadang ya?” tanya Rara lagi.
“Iya nyelesain paper yang disuruh Bu Rani. Weker gue rusak, makanya telat bangun,” jelas Rona perlahan.

“Ohhhh….gitu, ya udah! Sekarang lu mandi dan cepat-cepat kemari ada kabar penting!” perintah Rara.
“Kabar apaan sih Ra?” tanya Rona dengan malas karena merasa tidak akan tertarik dengan kabar dari sahabatnya itu.
“Hari ini Dude masuk sekolah Na!” kata Rara dengan tegas.
Rona yang sedari tadi tiduran dan memejamkan mata, sontak kaget dan langsung duduk dengan membelalakkan matanya.

“Serius Ra?” tanya Rona karena masih ragu dengan Rara.
“Gue gak becanda! Makanya buruan lu kemari,” katanya mencoba meyakinkan.
“Ya udah tunggu gue,” jawab Rona dan kemudian meletakkan handphone-nya di atas meja. Dia bergegas mandi dan bersiap-siap ke sekolah.

Dalam perjalanan Rona terlihat gelisah. Pikirannya bercampur aduk antara senang dan tidak. Pak supir yang sedari tadi mengamati Rona merasa heran. Rona memang sudah sangat merindukan sang pacar Dude, tapi ia juga membencinya. Karena sudah tiga bulan terakhir ini Dude tak masuk sekolah. Dude juga tak pernah memberikan kabar. Dan saat Rona mendatangi rumah Dude, pembantunya tak mau memberikan informasi tentang Dude.
Sahabat dan teman dekat Dude sudah ditanyai Rona, tapi tak satu pun yang tahu. Sedangkan wali kelas dan guru-guru tidak mau memberitahukan apapun tentang Dude, padahal mereka sebenarnya tahu segalanya. Bulan pertama dan kedua Rona seakan tak terima dengan kehilangan Dude yang tiba-tiba. Namun di bulan ketiga ia mulai berangsur pasrah.
Mobil yang dikendarai pak sopir berhenti tepat di depan gerbang sekolah, tanpa mengucapkan apa-apa Rona bergegas keluar dari mobil dan berlari ke arah kelas. Pak sopir hanya diam sambil menggeleng-gelengkan kepala. Saat tiba di kelas Rona langsung menghampiri Rara.
“Ra! Lu serius dengan yang tadi kan?” tanya Rona meminta penjelasan Rara.
“Iya Na! tadi Dude datang kemari dan nyariin lu,” jawab Rara.
“Trus lu ngomong apa sama dia?”

“Ya gue bilang aja lu belum datang. Terus dia pergi dan dia balik ke kelasnya,” jelas Rara.
“Berarti dia masuk sekolah lagi dong?” tanya Rona lagi dijawab dengan anggukan oleh Rara.
“Jadi selama ini dia ke mana ya? Lu nggak tanya sama dia Ra?”
“Nggak, gue ngerasa canggung aja udah lama nggak ketemu dia,” jelas Rara.

Mereka berdua pun terdiam dan merasa heran. Namun Rona nggak mau terburu-buru untuk mendatangi Dude. Dia merasa bahwa Dude yang bersalah dan harus menemuinya terlebih dahulu untuk memberikan penjelasan tentang hubungan mereka.
Rona menunggu dengan gelisah, sampai bel masuk pun berbunyi dan Dude belum datang. Kemudian pada jam istirahat Rona memutuskan tidak ikut Rara ke kantin. Karena Rona berfikir Dude akan datang kembali menemuinya. Namun untuk kedua kalinya Rona salah menduga.
“Dude belum kemari Na?” tanya Rara yang sudah kambali dari kantin dengan dua buah minuman di tangannya.
“Belum Ra.,”  menggelengkan kepala dengan wajah kecewa.
“Kenapa ya?” Rara merasa heran diikuti gelengan kepala Rona yang menandakan juga heran.
 ”Tapi lu tenang aja Na, gue yakin nanti pulang sekolah dia pasti nemuin lu,” kata Rara dengan tegas.

Dan ternyata dugaan Rara benar. Dude sudah berada tepat di depan pintu kelas menunggu. Rona berdiri terpaku, bibirnya terasa beku. Sedangkan Dude juga terlihat sangat gugup, seakan tidak siap bertemu Rona.
Namun kerinduannya yang besar kepada Rona mengalahkan ketidaksiapannya. Rara tidak ingin mengganggu percakapan sahabatnya itu, ia tahu banyak hal yang pasti akan mereka bicarakan. Sehingga Rara memutuskan pulang duluan.
“Hai Na,” sapa Dude dengan lembut.
“Hai…,” jawab Rona singkat.
“Apa kabar?” tanya Dude.
“Baik, kamu?” Rona menjawab pelan.
“Lumayan,” jawab Dude
“Aku antar kamu pulang ya? Sekalian ada yang mau aku omongin”, sambung Dude.
Rona mengangguk. Mereka pun pergi meninggalkan sekolah dengan mengendarai motor yang dibawa Dude. Selama di jalan mereka hanya terdiam, tidak seperti suasana dulu yang begitu dihiasi dengan canda. Dude membawa Rona ke sebuah taman di mana dulu mereka sering menghabiskan waktu berdua. Setelah turun dari motor mereka berdua duduk di kursi yang ada di tengah taman.

“Aku mau minta maaf sama kamu Na, karena selama ini aku nggak ngasih kabar ke kamu,” Dude berusaha memulai pembicaraan.
“Kamu sebenarnya ke mana sih? Kamu tahu nggak, aku udah nyariin kamu ke mana-mana,” Rona merasa tidak tahan lagi menyembunyikan perasaannya.
“A….ku, sakit Na!” jawab Dude dengan sangat lambat.
“Sakit?” Rona merasa jawaban Dude bukanlah hal yang aneh tetapi dia justru heran mengapa hal itu harus disembunyikan darinya.

“Tapi kenapa kamu nggak ngasih tau aku, aku kan pacar kamu jadi aku bisa ngerawat kamu.”
“Aku tahu Na, tapi ini nggak segampang itu.”

“Maksud kamu?” Rona semakin terlihat bingung dengan perkataan Dude yang nggak jelas. Dude terdiam, mukanya terlihat ragu untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Rona.
“De? Kenapa kamu diam? Maksud kamu apa?” Rona mengguncang badan Dude, memaksa Dude menjelaskan semuanya. Rona merasa sudah cukup untuk bingung selama tiga bulan ini. Sehingga dia tidak ingin menunda lagi mengetahui apa yang terjadi.

“Aku…aku…aku menderita kanker stadium akhir Na,” jelas Dude dengan perlahan.
“Apa?” Rona terlihat sangat terkejut, ia benar-benar nggak menyangka penjelasan Dude akan seserius itu.

“Selama tiga bulan ini aku menghilang, karena mama membawa aku ke Singapura untuk menjalani perawatan. Di sana aku terapi dan aku sempat kritis Na,” Dude melanjutkan penjelasannya.
 ”Sekarang aku hanya punya waktu seminggu, setelah itu aku harus balik ke Singapura untuk perawatan selanjutnya.”

“Ya ampun Dude….kenapa kamu nggak ngasih tahu aku?” keluh Rona dan air mata terlihat jatuh di pipinya yang halus.
“Aku takut setelah mendengar semuanya kamu ninggalin aku. Aku kangen banget sama kamu dan aku takut kehilangan kamu Na.” Dude menutup mukanya dengan tangan. Ia menangis layaknya seorang anak kecil.
Melihat kesedihan pacarnya itu hati Rona hancur. Rona meraih tangan Dude dan memegangnya erat-erat. “Aku cinta sama kamu, dan aku cinta kamu apa adanya, aku nggak bakalan ninggalin kamu,” ujar Rona sambil menatap Dude.
“Aku bakal nunggu kamu, sampai kamu sembuh.”
“Tapi penyakitku semakin parah Na, aku nggak tahu kapan bisa balik lagi. Entah itu tiga minggu, tiga bulan, atau mungkin tiga tahun lagi,” tambah Dude dengan air mata yang terus mengalir.
“Aku nggak peduli, aku bakal nungguin kamu. Asal kamu janji berusaha untuk sembuh demi aku,” tambah Rona.

Dude terharu dengan perkataan Rona. Ia merasa semangat hidupnya kembali lagi. “Aku janji sama kamu, aku akan berusaha untuk sembuh.”
Dude langsung memeluk Rona dengan erat. Sudah lama pelukan hangat itu tidak mereka rasakan. Mereka larut dalam kebersamaan itu. Sejenak mereka melupakan semua kesedihan yang ada. Walaupun sebenarnya Rona tahu semua itu tidak akan mudah nantinya. Tapi ia hanya ingin memberikan semangat penuh untuk Dude, karena hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini.
Seminggu sebelum keberangkatan Dude ke Singapura mereka benar-benar menghabiskan waktu bersama. Rona hanya ingin memberikan kenangan yang terindah untuk Dude. Kenangan yang mungkin tidak akan terulang lagi. Kenangan yang juga mungkin terakhir Dude rasakan. Mereka berdua benar-benar sadar akan hal itu. Tapi jauh di dalam lubuk hati Rona, ia berharap ini hanya sepenggal kenangan yang nantinya menjadi memori saat mereka menghadapi masa tua bersama.

Linda Evans Tresya adalah mahasiswa Jurusan Matematika
FMIPA Rab University Pekanbaru


Sabtu, 04 Desember 2010

persahabatan yang berakhir cinta

              persahabatan yang berakhir cinta                                                                                                Ketika duduk di bangku SMP aku kenal dengan seseorang namanya Ety, ya memang dia adalah sahabatku, sahabat yang selalu ada ketika aku sedang membutuhkannya....ceritanya aku bisa kenal dengannya ketika pertama masuk sekolah dan saat itu masih dalam suasana MOS mulanya aku disuruh kenalan oleh kakak kelasku,memang sih mulanya aku malu tapi setelah kenal aku jadi nggak malu lagi bahkan aku sering cerita tentang masalahku padanya, ya boleh diblang curhat sich.ketika kami sudah kelas VIII SMP aku mulai tau sifat sifat ety yang sesungguhnya hingga latarbelakangnya,singkatnya aku nggak ingin lagi berpisah dengannya ya karna kami sudah merasa saling cocok, ya walaupun belum ada perasaan suka padanya.
          Setelah kami naik kekelas IX kami duduk sekelas mejaku dan meja ety bersebelahan,ya kadang kadang saat nggak ada guru aku sering ngobrol ngobrol kecil dengannya baik tentang pelajaran ataupun hal lain memang sich ety orangnya enak di ajak ngbrol, ya mungkin karena ia pandai bergurau,.,.,..,.,pada suatu hari ketika aku sedih ety selalu menghiburku dengan leluconnya,memang leluconnya selalu bisa membuat aku lupa akan kesedihanku, ketika sudah semester genap di sekolahku diadakan les kusus untuk mempersiapkan menghadapi ujian nasional,.,.,.,.,.memang dasarnya ety anak yang pandai makanya aku sering bertanya padanya kalau kalau aku tidak bisa mengerjakan soal latihan yang diberikan oleh bapak atau ibu guru di sekolah dan ety pun sering memberi solusi dan cara cara penyelesaian soal tersebut
          Singkatnya setelah selesai ujian nasional aku merasa sedih karena mungkin saja aku nggak akan bisa bersama sama lagi dengan ety   karena ety mungkin akan lebih memilih untuk melanjutkan ke SMA sedangkan aku ingin melanjutkan pendidikanku ke SMK  memang aku suka pelajaran fisika khususnya mengenai listrik sedangkan ety lebih suka pelajaran IPA dan memang ety pun mempunyai cita cita untuk menjadi dokter.
          Memang benar ketika tahun pelajaran baru mulai dibuka, sekolah sekolah SMA & SMK mulai menerima siswa baru, aku memilih mendaftar ke SMKN 1 Siantan sedangkan ety mendaftar ke SMAN 7 pontianak kamipun berpisah untuk menempuh pendidikan masing masing,di SMKN 1 siantan aku mendaftar ke jurusan listrik sedangkan ety harus menunggu kelas XI baru ambil jurusan.ketika sekolah sudah berjalan 1 semester aku merasa rindu pada ety nggak tau ngapa perasaan itu datang padahal aku hanya menganggap ety hanya sebatas sahabat saja nggak lebih.
          Kesokan harinya aku hubungi nomer handpone yang di berikan ety ketika acara perpisahan di sekolah,, tuuuuut tuuuuut suara dalam handponeku bertanda telah terhubung pada nomer tersebut  assalamualaikum suara dalam telfon, wa’laikumsalam jawabku, maaf ini siapa ya kata suara dalam telfon,, apakah ini benar ety tanyaku,, iya benar ini ety kalau kamu sendiri siapaya tanya ety dalam telfon, aku bayu et jawabku, o...kamu bay jawab ety keras,,, iya aku bayu kataku lagi,, eh bay apa kabar ni tanya ety padaku, alhamdulilah baik et kalau kamu sendiri gemana et aku balik bertanya,,ya alhamdulilah baik eh iya tumben bay nelfon.,.,ya nggak apa apa kan emang nggak boleh ya et.,.,.,.,ya boleh lach kan kamu sahabat aku jawab ety,, et aku kangen ni sama kamu kataku bercanda, ...ah kamu ni bay bisa aja....iya sich aku juga kangen sama kamu kapan ya kita bisa bersama sama lagi kata ety,,, ya kalau kamu udah kembali ke siantan lagi kataku singkat,, iya sich bay tapi kan masih lama, kita kan baru mulai masuk semester genap berarti masih 2 tahun lagi aku baru bisa pulang ke siantan kata ety ,,,,,eh udah dulu ya et kataku  assalamu’laikum .....? walaikum salam jawab ety sembari menutuup telfonnya
          Seminggu kemudian aku menelfon ety.  assalamu’laikum .......? wa’alaikumsalam jawab ety di telfon., et lagi ngapa ni tanyaku..? nggak lagi ngpa ngapa kok bay kata ety di telfon,,. eh et aku mau ngomong sesuatu ma kamu kataku setengah bercanda,.,. emang mau ngomong apa bay tanya ety penasaran.,, gini et aku tu sebenarnya suka dan cinta sama kamu et kataku dengan nada bercanda,,, ety terdiam tak menanggapi omonganku,, ngapa diem et tanyaku lagi,, enggak ngapa ngapa jawab ety singkat,. nggak usah di jawab et aku juga Cuma bercanda kok nggak ada maksud apa apa,,,, ya nggak gitu dong bay kata ety.... lho emang ngapa et tanyaku lagi..,. gini bay sebenarnya aku tu udah punya perasaan suka sama kamu sejak kita masih kelas IX SMP dulu kata ety padaku,., sama sih et sebenarnya akupun sudah ada rasa cinta sama kamu tapi aku nggak berani untuk mengungkapkan itu, aku takut kamu tersinggung karna aku nggak ngelihat kamu memiliki rasa suka ma aku yang aku lihat kamu hanya anggap aku sebagai seorang sahabat saja kata bayu menjelaskan
          Gini bay aku nggak berani nunjukin rasa cintaku sama kamu karena aku takut kamu hanya mengaggapku hanya sebagai seorag sahabat saja dan aku nggak mau aku kecewa karena jawabanmu, makanya perasaan ini aku pendam sendiri hingga saat ini aku baru berani mengungkapkannya padamu dan ternyata aku baru tau kalau sudah sejak dulu kamu punya rasa cinta dan sayang untukku kata ety pada bayu. aku pun nggak mau kalah saing, ku ungkapkan semua apa yang ku rasakan saat itu, dengan yakin aku berkata pada ety,,, et boleh enggak aku jadi teman sepesial untukmu!!!!! Boleh kok bay  jawab ety
          kini aku telah kelas 3 SMA dan hubungan yang ku bangun dengan ety pada semester genap waktu kami masih kelas satu dulu masih baik baik saja, hinnga saat ini. aku semakin sibuk mempersiapkan diri untuk ujian nasional tapi dalam hati aku merasa senang karena sebantar lagi aku dapat bertemu dengan ety yang telah lama berpisah dan aku punya rasa rindu yang sangat besar untuknya hingga aku tak sabar untuk cepat cepat bertemu dengan ety.ya hingga di sekolah pun aku terlihat murung karena aku terbayang bayang wajah ety dan aku pun sedikit kehilangan konsentrasi dalam mengikuti pelajaran hingga pada saat pelajaran Bahasa Indonesia aku di tegur oleh bu lidia.,,,,Bayu kamu ngapa kok sepertinya nggak pernah mendengarkan apa yang ibu jelaskan,kamu tahu kan kalau minggu depan tepatnya tanggal 22 April sudah mulai dilaksanakan ujian nasional kata bu lidia padaku,iya bu saya tahu itu bu,, kalau begitu maafkan saya ya bu, kataku pada bu lidia..,ya sudah, tapi lain kali jangan di ulangi lagi ya kata bu lidia lagi,iya bu jawabku singkat.
          Ketika bel istirahat berbunyi para siswa berhamburan keluar kelas aku pun ikut keluar pula tapi aku bukannya ngumpul-ngumpul seperti anak-anak yang lain aku memilih untuk duduk menyendiri di taman,,,tiba-tiba dwi datang eh bayu kok murung gitu sich tanya dwi padaku,,,,enggak kok jawabku,,nggak usah bohong bay kelihatan kok dari raut wajah mu,lagi mikirin apa sich tanya dwi lagi,,,enngak aku lagi nggak mikirin apa-apa jawabku;;;; udah aku tebak deh kalo kamu nggak mau ngasi tau e..... lagi mikirin ety ya tebak dwi,,,e......gimana ya seperti itu lah kira-kira,,,,,,,cie-cie yang lagi mikirin sang kekasih yang sebentar lagi akan pulang ledek dwi padaku, aku terdiam karna malu......ngapa kok diam aja bay,  eh tapi tenang aja bay kalau memang jodoh nggak akan kemana kok, oh iya bay kamu sama ety tu seperti pepatah jawa yang itu tu witing tresno jalaran soko kulino ya nggak,, soalnya kamu sama ety tu aku lihat-lihat dulunya sahabat eh nggak taunya sekarang jadi sahabat spesial kalau Bahasa indonesianya persahabatan yang berakhir cinta ledek dwi padaku.
..................................................................................................................................................................................


Karya           : Indra Subekti,ST
Email           : praboe_listric@mail.com
No telp/Hp : 085750261358/085750123544

Di dukung oleh : torabika moka,Indomie,Danone.
Motto                 : Jalan hidup tidak selalu mulus seperti yang kita inginkan jadi                                  teruslah berdo’a dan berusaha karna itu yang dapat merubah                        jalan hidup kita,insyaallah.

Pembina             : Bpk.Isma’il,SPd
Korektor             : Dede Rachmat,SPd,Msi