Sabtu, 11 Desember 2010


Bagai Sebuah Kaca


Semilir angin malam berhembus menembus ventilasi kamarku, aku termangu duduk seorang diri di atas tempat tidur yang menjadi teman setiaku. Perlahan tapi pasti, detik jam itu berputar meninggalkan waktu lalu, yang kian membelengguku dengan kenangan. Sebuah kenangan manis masih bertengger indah dalam ingatanku yang terluar, tentang kisah persahabatan.
Duduk di bangku SMA mungkin memang satu hal yang sangat berkesan dalam hidupku. Satu hal yang tak kan pernah luput dari ingatanku.
Berkenalan dengan Raya mungkin memang suatu kebetulan dalam hidupku, yang menjadi kebanggaanku kini, aku masih bisa berada di dekatnya, walaupun antara aku dan dia terasa bak dipisahkan tembok yang tebal. Aku dan dia tak pernah lagi sedekat yang dulu, walaupun aku dan dia dalam kondisi yang sangat berdekatan. Masih terbias kesedihan dalam hatiku, sungguh begitu menyayat dalam hidupku.
Ya. Aku akui, mungkin memang aku yang menjadikan semua ini seperti ini tapi tak pernah terbayangkan olehku justru antara aku dan dia kini sangat berjauhan, antara hatiku dan hatinya kini tak lagi sedekat dulu. Aku tak bisa seleluasa dulu saat bercerita segala hal padanya. Aku tahu, sering Raya ingin aku kembali seperti  aku yang dulu padanya, aku tak pernah bisa walau sering hal ini kucoba. Ada yang terluka dan sulit untuk kututupi lukanya.
Aaaahgg….!!! aku rindu kedekatanku dengannya. Aku rindu bersenda-gurau, bahkan aku rindu celoteh cerewetnya yang sebenarnya sangat membosankan tapi membangun semangatku. Raya, kenapa sih lubang di depanmu sangat dalam kini, aku jadi takut melangkah ke arahmu. Aku benar-benar merindukan kamu yang selama ini mengisi relung hatiku. Aku merindukan sahabat yang selalu menyemangatiku dan sahabat yang selalu bisa aku semangati. Raya…!!!
Dari sewaktu duduk di kelas 3 SMA aku sudah sangat dekat dengannya, tingkahnya yang anggun, bersahaja, sopan, rapi, rajin, pintar, berwawasan luas dan berwibawa selalu membuatku ingin menjadi sosoknya yang jadi kebanggaan.
Keramahannya, keikhlasannya, kebaikan hatinya benar-benar satu hal yang ingin kupelajari darinya. Keahliannya dalam mengemukakan pendapat serta hobinya membaca buku-buku tentang kejiwaan selalu membuatnya dapat memberikan solusi yang membangun bagi para sahabatnya. Aku bangga bersahabat dengannya. Terlebih saat aku dan dia bisa sama-sama berjuang masuk ke perguruan tinggi favorit kami. Banyak hal yang aku dan Raya lakukan bersama hingga akhirnya kami benar-benar duduk di bangku perguruan tinggi ini. Aku dan Raya melewati segala hal bersama, dalam sedihku, dalam bahagiaku, dalam sedihnya dan juga dalam bahagianya. Tak luput satu halpun kami bagi berdua. Menapaki langkah kehidupan bersama-sama. Ya, itulah yang selalu aku lakukan bersama Raya dulu.
Aku memandang sebuah bingkai foto berwarna biru di atas meja belajarku, itu fotoku dan Raya saat kami berdua mengikuti acara rekreasi perpisahan kelas 3 lalu. Dua gadis berjilbab putih duduk di atas sampan di sebuah danau yang cukup luas. Senyuman manis bertengger di wajah ceria mereka berdua.
Aku terus menatap sendu pada foto itu. Kerinduan itu kembali memuncak, aku mengalihkan tatapan ke arah sebelahnya, sebuah liontin berbentuk bintang bertengger di sangkutan dinding itu, aaahhg…!! Itu liontin yang ku beli bersama tanda lulus di sebuah universitas. Butir- butir bening itu tak mampu lagi kubendung di kantung mataku, aku membiarkan butiran itu jatuh satu per satu di pipiku.
Handphone genggam yang sedari tadi kubiarkan terbaring manis di atas tempat tidurku berseringai mendendangkan nada panggilan masuk. Aku menghapus butir air mata yang sempat membasahi pipiku. Seraya menarik nafas cukup dalam, kuraih handphone itu. Satu panggilan dari Raya, sebersit senyum singgah diwajahku.
‘’Hallo, Assalamualaikum.” Sapaku mengatur suaraku yang tadi sedikit tersendat.
‘’Walaikumsalam, Na..,”  jawab orang yang di seberang.
‘’Ada apa, Ya?,” tanyaku sedikit kaget menerima panggilan darinya.
‘’Na, Aya minta maaf ya. Aya tak bisa ke sana sesuai janji Aya ke Nara semalam” tuturnya sedikit merasa bersalah.
Ada kekecewaan di hatiku. Aku menghela nafas dan menutupi kekecewaanku. ‘’Oh begitu ya? Iya, tak apalah,” jawabku.
‘’Aya minta maaf banget ya, Na. Aya kira bisa pulang lebih awal dan langsung ke rumah Nara, tapi tadi Aji meminta Aya mampir ke rumahnya sepulang kampus ini. Aya tak bisa menolak permintaannya itu, maaf ya, Na!!,” tuturnya sedikit menjelaskan.
‘’Nara ngerti kok, Ya. Aji emang segalanya buat kamu, tak apa kok! Maaf Ya, Na mesti siapin kerjaan Na nih. Udah dulu ya, Assalamualaikum.” Tuturku mengakhiri pembicaraan tanpa menunggu jawaban salam darinya.
Aku kembali menatap gambar dalam bingkai foto biru yang bertengger manis di atas meja belajarku. Kekecewaan jelas memuncak di sanubariku. Raya yang dulu kukenal kini telah berubah. Aku benar-benar kecewa dengan perubahannya itu.
Dulu, Raya benar-benar lebih mementingkan aku atau teman-temannya yang lain dibandingkan pacarnya, tapi sejak 3 semester pertama perkuliahan dimulai, Raya benar-benar menyerahkan segala waktu dan tenaganya untuk Aji, pacarnya. Aku cukup kecewa dengan perubahan sikapnya. Segala waktu luangnya hanya diperuntukkannya untuk Aji. Sejak saat itu kedekatanku pada Raya semakin berkurang. Sebenarnya ini bukan masalah yang besar, aku tahu, setiap orang pasti ingin dicintai dan mencintai. Seperti halnya Raya.
Aaaahhhg…begitu egoisnya aku jika mengekangnya. Aku mencoba mengerti tentang dunia kehidupan saat ini. Tak jarang, aku pun juga remaja, dan suatu saat nanti aku juga akan mendapatkan apa yang ditemukan Raya pada Aji. Ya, mudah-mudahan saat hal itu terjadi padaku, aku bisa membagi waktuku dengan adil.
Akhirnya hari itu aku memutuskan untuk hadir dalam pertemuan itu seorang diri tanpa Raya, aku melewati taman yang biasa aku dan Raya datangi berdua, dan tak jarang kami datang bertiga; aku, Raya dan Tari. Aku memandang pilu pada bangku taman yang kosong tanpa penghuni itu.
Seakan pilu, aku berusaha kuat melalui bangku taman itu. Bayangan kebahagiaan yang terus menghantui pikiranku membuat aku meraba-raba jalan kehidupanku…***